BIAS Jumat 12 : Hukum Bejana (Wadah) dari Emas dan Perak

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله, أما بعد.

Para sahabat sekalian yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita lanjutkan pada halaqoh yang ke-12 pada matan Abu Syujā'.
 
ولا يجوز استعمال أواني الذهب والفضة ويجوز استعمال غيرهما من الأواني.
Dan tidak diperbolehkan menggunakan bejana (wadah) yang terbuat dari emas dan perak dan diperbolehkan untuk menggunakan bejana (wadah) yang lainnya selain wadah yang terbuat dari emas dan perak.
Para pembahasan emas dan perak ini, ada beberapa point yang akan kita jelaskan secara ringkas.
 
Pertama, hukum menggunakan bejana (wadah) emas dan perak adalah haram, baik bagi laki-laki maupun wanita. Dalilnya sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam :
 
(لا تشربوا في آنية الذهب والفضة ولا تأكلوا في صحافها ، فإنها لهم في الدنيا ولكم في الآخرة ) . متفق عليه .
Janganlah kalian meminum dari wadah-wadah yang terbuat dari emas dan perak dan juga kalian makan dari piring (mangkuk) yang terbuat dari emas dan perak karena sesungguhnya hal itu adalah untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kita nanti di akhirat. (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, termasuk didalam makna "bejana" disini adalah segala wadah yang kecil maupun yang besar, seperti cangkir, gelas dan lainnya maka dia termasuk di dalam larangan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam. Begitu pula segala media yang digunakan untuk makan atau minum seperti piring, tempayan dan lainnya maka apabila terbuat dari emas dan perak hukumnya adalah haram. Dan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberikan peringatan yang sangat keras terhadap masalah ini. Beliau bersabda :
 
((مَن شَرِب في إناءٍ من ذَهبٍ أو فِضَّة، فإنَّما يُجرجِر في بطنِه نارًا من جَهنَّم)) رواه مسلم (2065)
Barangsiapa minum dari wadah (cangkir) yang terbuat dari emas atau perak maka sesungguhnya dia telah mendidihkan perutnya dengan api dari Jahannam". (HR. Muslim)
Kedua, bolehkhn kita menggunakan emas dan perak untuk barang-barang selain wadah minum ataupun makan? Disini para ulama (imam madzhab) bersepakat bahwasanya hukumnya adalah haram. Seperti menggunakan sendok, gantungan kunci, jam dinding, pena, perhiasan/souvenir, kancing, dari emas dan perak maka ini hukumnya haram, baik yang murni maupun sepuhan.
 
Dikecualikan (yang diperbolehkan) adalah:
  1. perhiasan bagi wanita, seperti kalung, cincin, gelang kaki, gelang tangan, anting dan semisalnya.
  2. cincin perak bagi laki-laki, sebagaimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memakai cincin dari perak.
  3. alat tukar dan mata uang, sebagaimana pad zaman Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam telah digunakan sebagai dinar atau dirham.
Syaikh Bin Bāz ketika Beliau ditanya tentang pena yang terbuat dari emas dan perak maka Beliau menjawab:
 
الأقلام من الذهب والفضة لا يجوز استعمالها للرجال والنساء جميعا ؛ لأنها ليست من الحلية وإنما هي أشبه بأواني الذهب والفضة ، والأواني من الذهب والفضة محرمة على الجميع
Pena-pena yang terbuat dari emas dan perak tidak boleh digunakan baik bagi laki-laki maupun perempuan seluruhnya. Karena sesungguhnya pena tadi tidaklah termasuk dari perhiasan yang diperkecualikan (dibolehkan) dalam syari'at. Akan tetapi dia lebih tepat dikategorikan hukumnya sama dengan wadah-wadah yang terbuat dari emas dan perak. Dan adapun wadah yang terbuat dari emas dan perak maka hukumnya adalah haram bagi laki-laki maupun wanita.
لقول النبي صلى الله عليه وسلم : ( لا تشربوا في آنية الذهب والفضة ، ولا تأكلوا في صحافها ، فإنها لهم في الدنيا [يعني : الكفرة] ، ولكم في الآخرة ) متفق على صحته.
Berdasarkan sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:
Janganlah kalian minum dari wadah-wadah yang terbuat dari emas maupun perak...".
Demikianlah pendapat Syaikh Bin Bāz mengenai barang-barang yang terbuat dari emas dan perak selain wadah (bejana) yang sudah jelas keharamannya. Senada dengan fatwa Syaikh Bin Bāz, juga fatwa Syaikh Jibrin dan Syaikh Shālih Fauzan dan para ulama terkini lainnya.
 
Ketiga, bolehkah kita menyimpan wadah-wadah/bejana/cangkir yang terbuat dari emas dan perak walaupun kita tidak menggunakannya? Maka disini dijawab oleh jumhur fuqaha (para ahli fiqh) mengatakan keharamannya walaupun kita tidak menggunakannya. Dan ini adalah sebagai pengamalan dari sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam :
 
... فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي اَلدُّنْيَا...
... Karena sesungguhnya emas dan perak itu adalah untuk mereka (orang-orang kafir) didunia ini...
Keempat, hukum bersuci dengan wadah dari emas dan perak. Apabila seseorang bersuci dari wadah yang terbuat dari emas dan perak maka hukumnya adalah sah, akan tetapi dia berdosa karena melanggar perintah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
 
Kelima, hikmah dibalik larangan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam untuk menggunakan peralatan ataupun bejana-bejana yang terbuat dari emas dan perak.
  1. Ini adalah sebagai ujian bagi seorang mu'min, apakah dia lebih mencintai Allāh dan RasulNya ataukah dia lebih mengutamakan hawa nafsunya.
  2. Sebagai latihan agar kita sebagai seorang mu'min tidak tertipu dengan gemerlapnya dunia karena sesungguhnya dunia adalah sementara (fana).
Sikap bermewah-mewahan akan menghancurkan kita di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, kita simak bagaimana nashihat Syaikh Bin Bāz mengenai masalah ini.
 
فالواجب على المسلم الحذر مما حرم الله عليه، وأن يبتعد عن الإسراف والتبذير والتلاعب بالأموال
Maka wajib bagi setiap muslim agar berhati-hati terhadap perkara-perkara yang Allāh haramkan padanya dan hendaklah dia menjauhi dari sikap bermewah-mewahan dan membuang-buang harta serta berfoya-foya dengan harta.
فالواجب على المؤمن أن يصرف المال في جهته الخيرية
Maka wajib bagi setiap muslim untuk menyalurkan hartanya pada perkara-perkara kebaikan.
Oleh karena itu, harta kita yang sebenarnya adalah yang ada disisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Allāh Ta'āla berfirman:
 
مَا عِندَكُمْ يَنفَدُ ۖ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ بَاقٍ ۗ
Apa yang ada pada sisi kalian itu akan hilang semua, dan apa yang ada disisi Allāh itulah yang akan kekal selamanya. (An-Nahl 96)
Sesungguhnya harta yang kita sedekahkan itu adalah harta kita dan harta yang kita tumpuk (kumpulkan) itu adalah harta orang lain yang akan kita tinggalkan. Oleh karena itu hendaklah kita belajar terus, menempa diri kita agar terbiasa kita terus bersedekah, karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menganjurkan :
اتّقوا النّار ولو بِشِقِّ تمرة
Dan jagalah diri kalian dari api neraka walaupun dengan separuh kurma (yaitu dengan bersedekah dengan separuh kurma).
Demikian yang bisa kita sampaikan.
و صلى الله على محمد و على آله و صحبه و سلم
 
Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :

Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Tim Materi Bimbingan Islam

BIAS Jumat 11 : Hal-hal Yang Berkaitan Dengan Najis

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله, أما بعد.

Para sahabat sekalian yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita lanjutkan pada halaqoh yang ke-11. Yang mana pada halaqoh kali ini kita akan sedikit membahas tentang beberapa masalah yang berkaitan dengan najasah.
 
Masalah yang pertama; hukum menghilangkan najis. Hukumnya adalah wajib, sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:
 
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
Dan pakaianmu bersihkanlah (sucikanlah) (Al-Muddatstsir 3).
Dan juga dalam sebuah hadits, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
 
أَكْثَرُ عَذَابِ اَلْقَبْرِ مِنْ البَوْلِ
Kebanyakan adzab/siksa didalam kubur adalah disebabkan karena kencing.
Yaitu maksudnya dia tidak bersuci (mensucikan) kemaluannya dari kencing tersebut. Ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ahmad dan Hakim.
 
Kedua, macam-macam najis. Maksudnya disini adalah akan disebutkan hal-hal yang disebutkan oleh para ulama, di mana hal tersebut adalah termasuk hal yang najis, baik disepakati atau di sana ada perbedaan para ulama di dalamnya.
  • Bangkai
Bahwasanya bangkai adalah najis dan sudah kita jelaskan bagian-bagiannya dan juga pengecualiannya (pada halaqoh sebelumnya).
  • Daging babi
Ini juga najis, sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:
 
أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
Atau daging babi karena itu adalah najis (Al-An'am 145).
  • Kencing dan kotoran anak Adam (manusia)
Para ulama sepakat tentang kenajisannya.
  • Kencing dan kotoran hewan
Adapun hewan yang diperbolehkan untuk dimakan, di sana ada khilaf (perbedaan pendapat), seperti kambing, sapi dan kelinci apakah kotoran dan kencingnya najis. Maka yang rajih (kuat) adalah pendapat yang tidak najis (thāhir). Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad. Dalilnya, dalam sebuah hadits shahih, dimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkan kaum Uraniyyun untuk meminum kencing dari kencing unta dalam rangka mengobati penyakit mereka. Dan seandainya kencing tersebut adalah najis maka tidak boleh diminum. Ini menunjukkan bahwasanya kencing hewan yang bisa dimakan adalah tidak najis. Hadits ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.
  • Air liur anjing
Ini juga disebutkan oleh para ulama termasuk hal yang najis. Dalilnya adalah dalam sebuah hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkan untuk mencuci bejana yang dijilat oleh anjing sebanyak 7 kali yang salah satunya dengan tanah.
  • Darah
Adapun darah haidh dan nifas maka dia adalah najis sebagaimana kesepakatan para ulama. Sedangkan darah yang lainnya menurut pendapat jumhur (mayoritas) para ulama dia adalah najis namun dengan syarat. Syaratnya adalah masfūhan (darah tersebut mengalir). Sebagaimana hal ini disebutkan didalam ayat. Oleh karena itu jika darah tidak mengalir, maka dia tidaklah najis. Adapun pendapat didalam madzhab Syafi'iyyah, membedakan antara banyak dan sedikitnya. Jika banyak dia najis. Jika sedikit tidak najis karena perkara tersebut adalah perkara yang dimaafkan (ma'fuw)
  • Cairan madzi
Cairan madzi adalah cairan yang keluar dari kemaluan seseorang tatkala tergerak syahwatnya. Ini dihukumi oleh para ulama sebagai cairan yang najis dan membatalkan wudhu.
  • Cairan mani
Namun pendapat yang shahih bahwasanya air (cairan) mani adalah suci dan tidak najis.
  • Cairan wadhi
Yaitu cairan yang keluar dari kemaluan yang biasanya setelah kencing. Ini adalah najis.
  • Khamr
Dimana sebagian ulama mengatakan khamr adalah najis dan sebagian yang lain mengatakan khamr adalah thāhir (suci). Pendapat yang rajih (kuat) bahwasanya khamr adalah tidak najis (suci). Demikianlah sekilas beberapa perkara yang termasuk perkara-perkara yang disebutkan oleh para ulama tentang kenajisannya.
 
Dan in syā Allāh pada halaqoh berikutnya kita akan kembali membacakan matan (teks) dari penulis Abu Syuja'.
 
و صلى الله على محمد و على آله و صحبه و سلم
 
Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :

Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Tim Materi Bimbingan Islam

Bias Jumat 10 : Hukum Tulang dan Rambut Dari Bangkai

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله, أما بعد.
Para sahabat sekalian, kita lanjutkan pada halaqoh yang ke-10 yang masih membahas tentang seputar najis. Di mana sebelumnya telah dibahas tentang kulit bangkai. Beliau melanjutkan:
 
قَال رَحِمَهُ اللّهُ: وَ عَظْمُ الْمَيْتَةِ وَ شَعْرُهَا نَجَسٌ إِلّاَ اْلآدَمِى
Dan tulang hewan bangkai serta rambutnya adalah najis kecuali manusia.
Ini adalah pendapat di dalam madzhab Syafi'i bahwasanya tulang dari bangkai dan rambutnya hukumnya adalah najis. Kita akan simpulkan bahwa bangkai secara umum adalah najis berdasarkan firman Allāh Subhānahu wa Ta'ālā :
 
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
Diharamkan atas kalian bangkai (Al-Maidah 3).
Dan disana ada bagian-bagian dari bangkai yang akan kita jelaskan sedikit;
 
Pertama, Kulit bangkai. Ini kita sudah jelaskan bahwasanya:
  • sebelum disamak dia adalah najis
  • setelah disamak dia adalah thāhir (suci) kecuali anjing dan babi.
Kedua, Daging dan gajih bangkai dia adalah najis berdasarkan kesepakatan para ulama (para imam madzhab).
 
Ketiga, Rambut atau bulu bangkai selain anjing dan babi maka menurut pendapat di dalam madzhab Syafi'i adalah najis, sebagaimana pernyataan di atas. Dan madzhab jumhur fuqaha dari Hanabilah dan Hanafiyyah serta Malikiyyah, dia adalah thāhir (suci). Dan ini, Allāhu a'lam, pendapat yang lebih kuat. Dalilnya adalah:
 
Dalil pertama, Firman Allāh Subhānahu wa Ta'ālā:
 
ْوَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثًا وَمَتَاعًا إِلَى حِينٍ
Dan dari bulu domba dan bulu onta dan bulu kambing, itu kalian jadikan sebagai alat-alat rumah tangga (perkakas) dan perhiasan sampai waktu tertentu. (AnNahl 80)
Allāh Subhānahu wa Ta'ālā menjelaskan tentang karunia dari Allāh Subhānahu wa Ta'ālā kepada manusia bahwasanya bulu-bulu hewan tersebut bisa digunakan sebagai alat-alat rumah tangga ataupun perhiasan. Dan ayat ini secara umum menjelaskan tentang bolehnya menggunakan bulu-bulu hewan tersebut, apakah dalam keadaan hidup ataupun dalam keadaan mati.
 
Dalil kedua adalah:
Bahwasanya segala sesuatu adalah boleh dan suci sampai ada dalil yang menunjukkan tentang kenajisannya dan tidak ada dalil khusus menunjukkan kenajisannya.
Dalil yang ke-3, yang dimaksud dengan bangkai yang diharamkan adalah bagian-bagian yang memiliki indra perasa atau bisa bergerak sesuai dengan keinginan atau memiliki kehidupan. Sementara rambut, bulu dan semisalnya dia tidak ada kehidupan di dalamnya atau tidak dapat merasakan maka dia tidaklah najis tetapi suci.
 
Bagian bangkai yang ke-4 yaitu: Tulang, tanduk dan kuku bangkai. Di dalam madzhab Syafi'i dia adalah najis dan ini juga pendapat jumhur fuqaha dari Malikiyyah dan juga dari kalangan Hanabilah.
 
Kelima yaitu bagian tubuh yang tersendiri yang dialiri oleh darah, seperti telinga, hidung, tangan, maka dia adalah najis berdasarkan ijma' para ulama.
 
Keenam, Darah dan nanah dan semisalnya maka itu semua adalah najis dan masuk dalam makna najis itu sendiri. Adapun penjelasan lebih rinci tentang darah maka akan dibahas pada tempatnya in syaa' Allāh Ta'ālā.
Kemudian beliau melanjutkan:
 
إِلّاَ اْلآدَمِى
Kecuali anak Adam/manusia.
Di sini beliau ingin mengecualikan bangkai yang dia disana adalah suci. Karena pada asalnya bangkai adalah najis, dikecualikan:
 
Pertama, maytatul ādamī (ميتة الآدمى), bangkai manusia. Dia adalah suci baik dikalangan muslim ataupun orang-orang kafir, sebagaimana keumuman firman Allāh Subhānahu wa Ta'ālā:
 
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
Dan sungguh telah Kami muliakan anak Adam. (Al-Isra 70)
Di sini konsekuensinya adalah anak Adam (manusia) suci baik hidup ataupun matinya.
 
Kedua, bangkai hewan laut (maytatul bahr, ميتة البحر). Sebagaimana sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tatkala Beliau ditanya tentang air laut. Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:
 
هو الطهور ماؤه ، الحل ميتته
Air laut itu suci (dan mensucikan) airnya serta halal bangkai hewannya.
Ketiga, maytatus samak wal jarād (مَيْتَةُ السَّمَكِ وَالْجَرَادِ), bangkai ikan ataupun bangkai belalang. Ikan disini adalah ikan air tawar, adapun yang laut sudah kita jelaskan pada point sebelumnya. Sebagaimana hadits Ibnu 'Umar, beliau berkata:
 
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ: َالْجَرَادُ وَ السَّمَكُ، وَالْكَبِدُ ، وَالطِّحَالُ
Dihalalkan bagi kami 2 macam bangkai dan 2 macam darah yaitu belalang dan ikan, hati dan limpa.
Keempat, mā lā nafsa lahu sāilah (ما لا نفس له سائلة), hewan yang tidak memiliki aliran darah, seperti lalat, semut, lebah dan semisalnya. Dalilnya adalah sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
 
إذا وقع الذباب في إناء أحدكم فليغمسه فإن في أحد جناحيه داء وفي الآخر شفاء.
Apabila seekor lalat jatuh pada minuman kalian maka celupkanlah kemudian buanglah karena pada salah satu sayapnya ada penyakit dan pada sayap yang lainnya ada obatnya (penawarnya).
Ini menunjukkan bahwasanya hewan yang tidak memiliki aliran darah maka dia adalah suci bangkainya. Demikian yang bisa kita sampaikan.
 
و صلى الله على محمد و على آله و صحبه و سلم
 
Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :

Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Tim Materi Bimbingan Islam

Bias Jumat 8: Pembagian Jenis Air Berdasarkan Penggunaannya Dalam Thaharah (Bagian 4)

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله, أما بعد.
Para sahabat sekalian, kita lanjutkan pada pelajaran berikutnya yaitu pada halaqoh yang ke-8 dari matan Abu Syuja'.
 
قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللّهُ: وماء حلت فيه نجاسة وهو دون القلتين ، أو كان قلتين فتغير ، والقلتان خمسمائة رطل بالعراقي

Pada penjelasan kali ini Beliau menjelaskan jenis air yang ke-4 yaitu air yang najis (air yang tidak suci). Kata beliau :
 
وماء حلت فيه نجاسة
Dan air yang tercampur ke dalamnya benda-benda yang najis.
Yaitu disini dibahas tentang air mutlak yang dia tercampur atau terjatuh ke dalamnya benda-benda najis, baik dia secara langsung ataupun secara tidak langsung.
  • secara langsung, benda tersebut jatuh kedalam air tersebut, atau
  • secara tidak langsung jika dengan melalui peresapan atau perembesan dan lain sebagainya.
Maka hukumnya disini dibedakan didalam Madzhab Syafi'i tentang air tersebut apakah banyak atau sedikitnya. Disebutkan:
  1. Apabila air kurang dari 2 qullah
  2. Apabila air 2 qullah atau lebih.
Dan qullah adalah ukuran volume air yang nanti akan dijelaskan oleh beliau pada akhir pembahasan. Disebutkan yang pertama :
 
وهو دون القُلَّتين
Dan dia air yang kurang dari 2 qullah.
  1. Air yang kurang dari 2 qullah apabila terkena najis maka hukumnya adalah air yang najis walaupun dia tidak berubah baik sifat, warna, bau maupun rasa. Jadi tidak berubah sifatnya. Maka tetap air tersebut adalah air yang najis.
  2. Apabila air tersebut 2 qullah atau lebih.
أو كان قلتين فتغير
Dengan syarat air tersebut berubah.
Jika air tersebut berubah 2 qullah atau lebih dan berubah. Berubah apanya? Berubah sifatnya, baik warna, bau maupun rasanya. Dan disini, 2 qullah atau lebih yang tercampur kedalamnya najis (misalnya bangkai, air kencing atau lainnya) kemudian merubah salah satu sifat air tersebut maka walaupun dia 2 qullah ataupun lebih maka air tersebut menjadi air yang najis. Namun apabila dia tidak berubah salah satu sifatnya maka air tersebut merupakan air yang suci dan mensucikan. Dalilnya adalah sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam :
 
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ
(وَ فِيْ رِوَايَةٍ النَّجَسَ)
Apabila air telah mencapai 2 qullah maka dia tidak mengandung khabats (atau dalam riwayat lain: najis) (Hadits ini hadits shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Imam Tirmidzi).
Di dalam pemahaman hadits ini disebutkan bahwasanya air terbagi menjadi 2 :
  1. apabila lebih dari 2 qullah
  2. apabila kurang dari 2 qullah
Dan apabila kurang dari 2 qullah maka dia terpengaruh dengan adanya najis. Namun apabila air mencapai 2 qullah atau lebih maka dia tidak berpengaruh dengan adanya najis. Ini adalah pendapat dalam madzhab Syafi'i dan juga pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, yang merupakan pendapat jumhur. Namun disana ada pendapat yang lain yang mengatakan bahwasanya:
Selama air tersebut tidak berubah sifatnya baik sedikit maupun banyak maka air tersebut adalah tetap suci dan mensucikan.
Ini pendapat Imam Malik, Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim, yang diperkuat oleh Syaikh 'Abdul 'Azīz bin Baz. Kemudian beliau mengatakan :
 
والقلتان خمسمائة رطل بالعراقي
Dan 2 qullah itu sama dengan 500 rithl 'iraqi.
Qullah disini yang dimaksud oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah qullah dari negeri Hajar. Berkata Imam Syafi'i :
 
رأيت قلال هجر، والقلة تسع قربتين، أو قربتين ونصف
Bahwasanya saya sudah pernah melihat qullah-qullah yang ada dinegeri Hajar dan 1 qullah itu dia bisa untuk memenuhi 2 qirbah atau 2,5 qirbah.
Qirbah adalah kantung-kantung untuk menampung air. 1 qirbah sekitar 100 rithl 'iraqi. Jadi 2 qullah = 5 qirbah = 500 rithl 'iraqi.

Qullah adalah tempat menyimpan air yang terbuat dari batu atau biasa kita sebut sebagai bak air. Ukuran pasti dari qullah sendiri berbeda-beda disebutkan oleh para fuqaha atau para ulama. Ada yang menyatakan dengan ukuran volume yaitu sekitar 60 cm kubik atau sekitar 216 liter. Ada yang disebutkan seperti diatas (500 rithl 'iraqi), dimana 1 rithl = 406,25 gram. Jadi, 500 rithl 'iraqi = 203,125 kg = 203,125 liter. Dalam kitab fiqih muyassar disebutkan bahwa: 1 qullah = 93,075 sha' = 160,5 liter.
 
Oleh karena itu, sebagaimana diperkuat oleh Syaikh 'Utsaimin rahimahullāh bahwasanya yang benar adalah tidak ada ukuran yang standar (pasti) untuk 2 qullah. Dan yang dimaksudkan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam hadits adalah air yang banyak dengan perkiraan 2 qullah yang disebutkan sebagai qullah Hajar (qullah dari negeri Hajar).
 
Demikian yang bisa kita sampaikan.
 
و صلى الله على محمد و على آله و صحبه و سلم
 
Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :

Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Tim Materi Bimbingan Islam

BIAS Jumat 9 : Hukum Kulit Bangkai Yang Disamak

Photo Credit : fauzifabaik.blogspot.com/
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله, أما بعد.

Para sahabat sekalian, kita lanjutkan pada halaqoh yang ke-9 dari pembahasan Matan Abu Syuja' AsySyāfi'iy rahimahullāh.
 
Pada pembahasan yang lalu kita telah menjelaskan tentang pembagian air di dalam madzhab Syāfi'iy, (yaitu):
 
Satu, Air thahūr, yaitu air yang suci dan mensucikan (air mutlak). Contohnya: air hujan, air danau dan lain-lain.
 
Dua, Air yang thahūr makrūh, yaitu air yang suci dan mensucikan namun dia makruh penggunaannya. Contohnya air musyammas. Dan kita telah jelaskan bahwasanya pembagian ini adalah khusus di dalam madzhab Syāfi'iy, namun tidak disepakati oleh jumhur ulama.
 
Tiga, Thāhir (suci) namun tidak dapat digunakan untuk mensucikan. Misalnya: minuman teh, kopi dan lain-lain.
 
Empat, Air najis, yaitu air yang tercampur dengan benda-benda yang najis.
 
Kemudian di sini penulis rahimahullāh akan menyebutkan tentang hukum kulit bangkai yang disamak. Pembahasan tentang kulit setelah pembahasan air (pembagian air) karena kulit pada zaman dahulu itu adalah media yang banyak sekali digunakan untuk menampung air, yaitu dengan membuat kantung-kantung air dari kulit. Oleh karena itu beliau membahas tentang kulit setelah pembahasan tentang air.
 
قال المصنف رحمه الله تعالى: فصل وجلود الميتة تطهر بالدباغ إلا جلد الكلب والخنزير وما تولد منهما أو من أحدهما،
Kata beliau:
Pasal (fashl): Dan kulit-kulit bangkai (bangkai secara umum) yang dia itu menjadi suci dengan cara disamak kecuali kulit anjing dan babi. (Disini beliau ingin menjelaskan bahwasanya beliau memulai dengan pembahasan yang baru. )
Karena anjing dan babi dalam madzhab Syafi'iy najisnya adalah najis 'ayni/najis secara zatnya, baik semasa hidup apalagi terlebih setelah menjadi bangkai.
Dan apa saja yang lahir dari keduanya (peranakan dari keduanya) atau salah satunya.
Jadi, misal induk jantannya adalah anjing, induk betinanya hewan lain, misalnya kambing maka peranakannya mengikuti hukum dari hukum anjing tadi.
 
Para sahabat sekalian yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'ālā, hewan sebagaimana yang kita ketahui ada :
 
Satu, Hewan yang hidup di laut (hewan laut). Hewan laut seluruhnya suci dan bangkainya pun suci dan halal untuk dimakan.
 
Dua, Hewan yang hidup di darat (hewan darat). Adapun hewan darat, disana ada:
  • Hewan yang diperbolehkan dimakan dagingnya. Seperti: sapi, kambing dan lain sebagainya. Apabila disembelih dengan aturan dan cara yang syar'i maka dagingnya adalah halal dan yang disembelih tersebut adalah suci. Namun apabila hewan tersebut tidak disembelih dengan cara yang syar'i atau mati sendiri, baik disengaja atau tidak disengaja maka hukumnya menjadi hukum bangkai dan dia menjadi najis.
  • Hewan yang tidak diperbolehkan untuk dimakan dagingnya. Seperti: harimau, keledai yang jinak dan seterusnya. Selama hewan tersebut masih hidup maka dia adalah thāhir (suci) walaupun tidak boleh dimakan dagingnya. Apabila dia mati, baik dengan cara disembelih ataupun mati sendiri maka hukumnya menjadi hukum bangkai. Oleh karena itu, seluruh bangkai adalah najis dan haram dimakan bangkainya kecuali ikan dan belalang.
Mengenai bagian-bagian bangkai kita akan bahas, diantaranya tentang :
 
Satu, Daging bangkai. Hukum daging bangkai adalah najis dan haram dimakan berdasarkan ijma' para ulama.
 
Dua, Kulit bangkai. Kulit bangkai yang belum disamak maka hukumnya adalah najis sebagaimana yang disepakati oleh para Imam Madzhab yang empat, bersepakat bahwasanya hukumnya adalah najis. Kemudian, kulit bangkai yang telah disamak, disana ada beberapa pendapat para ulama namun yang paling kuat adalah 2 pendapat:

Pendapat Pertama

Bahwasanya kulit bangkai menjadi suci setelah disamak kecuali kulit anjing dan babi. Jadi ini semua kulit bangkai, apapun. Ini adalah pendapat madzhab Syafi'iy sebagaimana yang telah kita bacakan dia atas dan juga pendapatnya Hanafiyah, akan tetapi berbeda dalam masalah kulit anjing. Dan juga ini adalah pendapat sebagian para shahabat. Dalilnya:
Satu, Hadits Ibnu 'Abbas radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, beliau berkata bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda :
 
إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ؛ فَقَدْ طَهُرَ
Apabila kulit-kulit itu telah disamak maka dia telah menjadi suci (HR. Muslim).
Dua, kemudian sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam yang lain manakala Beliau melihat kambing yang ditarik oleh para shahabat. Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda :
 
لو أخذتم إهابها فقالوا : إنها ميتة ، فقال : يطهرها الماء والقرظ
Jikalah kalian mengambil kulitnya. Kemudian para shahabat berkata: "Sesungguhnya hewan tersebut adalah bangkai." Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: "Air dan daun qarazh itu akan membersihkan (kulit dari bangkai tersebut)". (HR. Abu Daud dengan sanad yang hasan).
Para sahabat sekalian yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'ālā, alqarazh adalah dia bentuknya daun yang kasar yang banyak digunakan untuk proses samak.

Pendapat Kedua

Bahwasanya proses samak, dia hanyalah mensucikan kulit bangkai hewan-hewan yang diperbolehkan dimakan dagingnya seperti sapi, kambing dan lain sebagainya. Adapun hewan yang tidak boleh dimakan maka tetap hukumnya-walaupun sudah disamak-maka hukumnya najis. Ini adalah pendapat jumhur dari Malikiyyah, Hanabilah dan lain-lain, juga pendapat Ibnu Taimiyyah, Syaikh Bin Baz rahimahullāh, Syaikh 'Utsaimin dengan dalil hadits di atas yaitu bangkai (yang dimaksud disitu adalah bangkai kambing). Oleh karena itu mereka mengkhususkan bangkai yang diperbolehkan atau menjadi suci itu adalah bangkai dari hewan yang boleh dimakan dagingnya.

Samak (Ad-Dibagh)

Kemudian kita akan sedikit membahas tentang samak (addibāgh). Disini, samak adalah sebuah proses mensucikan/membersihkan kulit.
Oleh karena itu kata Al-Khātib Syarbini dalam kitab Mughnil Muhtāj, beliau mengatakan bahwasanya dibāgh itu adalah :
 
نزع فضول الجلد وهي مائيته ورطوباته التي يفسده بقاؤها
Yaitu menghilangkan kotoran-kotoran yang ada pada kulit (baik itu lemaknya, darahnya dan lain-lain) yang cairnya ataupun yang lembab/basahnya, yang mana kalau ada maka kulit tersebut akan menjadi rusak.
Jadi, proses samak adalah proses penghilangan kotoran-kotoran yang ada pada kulit dengan menambahkan zat-zat tertentu, apakah zat itu nabati, hewani ataupun zat yang sekarang dipakai (zat kimia) yang bisa menghilangkan kotoran dari kulit baik darahnya, lemaknya dan lain sebagainya.
 
Jadi, salah satu ciri bahwasanya proses penyamakannya adalah bagus apabila kulit tersebut ditaruh didalam air maka dia tidak akan berbau dan tidak akan menjadi busuk. Ini adalah contoh kulit yang baik.
 
Dan tidak cukup pengeringan kulit tersebut hanya dengan ditaruh di bawah sinar matahari, tapi harus dengan proses dan tahapan-tahapan yang dikenal dalam proses penyamakan. Sehingga kulit tersebut menjadi suci setelah disamak, kemudian dicuci maka kulit tersebut menjadi suci.
 
Demikian.
 
و صلى الله على محمد و على آله و صحبه و سلم
Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :

Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Tim Materi Bimbingan Islam

BIAS Jumat 7 : Pembagian Jenis Air berdasarkan Penggunaannya dalam Thoharoh Bagian Tiga

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله, أما بعد.

Para sahabat sekalian, kita lanjutkan pada halaqoh yang berikutnya (yang ke-7) :
 
قال المألف رحمه الله: الطاهر غير المطهِّر وهو الماء المستعمل، و المتغير بما خالطه من الطاهرت

Pada penjelasan kali ini penulis ingin menjelaskan bagian ke-3 dari jenis air dari sisi thaharahnya, yaitu jenis yang suci tapi tidak mensucikan.
Kata beliau:
 
الطاهر غير المطهِّر
Jenis yang suci namun dia tidak mensucikan.
Dan dijelaskan ada 2 macam jenis air ini, yaitu:
  1. air musta'mal (air bekas)
  2. air yang berubah karena tercampur dengan benda-benda suci.
Dua jenis ini termasuk air yang suci tapi tidak mensucikan (thāhir ghairu muthahhir).
 
Disini penulis menjelaskan tentang:Air bekas (air musta'mal). Apa yang dimaksud air bekas? Adalah air bekas cucian dari thaharah yang wajib, misalnya: wudhu yang wajib, mandi yang wajib. Maka air bekas tersebut dikatakan sebagai air musta'mal, yang mana di dalam madzhab Syafi'i air musta'mal ini termasuk air yang suci tapi dia tidak bisa mensucikan.
Akan tetapi, pendapat yang benar adalah pendapat jumhur yang mengatakan bahwasanya:
Air musta'mal itu tetap dia air mutlak selama tidak berubah warnanya, baunya maupun rasanya, yang bisa digunakan untuk bersuci.
Dalilnya adalah sebuah hadits dari Abu Daud rahimahullāh, yang diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, beliau berkata:
 
اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَفْنَةٍ فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَتَوَضَّأَ مِنْهَا أَوْ يَغْتَسِلَ فَقَالَتْ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ جُنُبًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَاءَ لَا يُجْنِبُ

Kata Ibnu 'Abbas radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu; beliau berkata:
Bahwasanya salah seorang dari istri Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mandi dari sebuah bejana. Kemudian datang Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam ingin berwudhu dari bejana tersebut (ingin mandi).
Berkata istri Beliau:
Wahai Rasūlullāh, sesungguhnya tadi saya itu junub (mandi junub).
Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pun berkata:
Sesungguhnya air itu tidak junub.
Ini adalah dalil bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menggunakan air bekas cucian (dinamakan sebagai air musta'mal), bekas thaharah wajib dan digunakan untuk bersuci (berwudhu). Dan ini menunjukkan bahwasanya pendapat jumhur lebih rajih (lebih kuat), selama dia masih bersifat sebagai air mutlak, yang tidak berubah warna, bau maupun rasanya, maka dia bisa digunakan untuk bersuci. Wallāhu a'lam.
 
Kemudian yang kedua, yang disebutkan sebagai jenis air yang thāhir ghairu muthahhir (suci tapi tidak mensucikan) yaitu:
 
المتغير بما خالطه من الطاهرت
Air yang berubah disebabkan tercampur dengan benda-benda suci.
Kita bisa lihat bahwasanya:
  1. Yang pertama adalah tercampur benda-benda suci, jika benda-benda najis maka dia tidak termasuk pada jenis ini.
  2. Kemudian yang kedua, air mutlak tersebut berubah, berubah baik warnanya, baunya maupun rasanya.
Salah satu dari sifat ini apabila berubah maka dia tercabut dari sifat mensucikan, maka dia termasuk jenis yang suci namun tidak mensucikan. Contohnya Air teh. Tatkala air mutlak kemudian dicampur teh maka berubah menjadi air teh, berubah warnanya, bau atau rasa maka air teh ini tidak dapat digunakan untuk berwudhu atau bersuci. Kemudian contoh lainnya misalnya: Air kopi, Air susu dan contoh-contoh yang lainnya.
 
Disebutkan oleh para ulama: Yang Pertama, di antara patokan dalam perubahan tadi adalah sebuah perubahan yang JELAS. Jadi apabila perubahannya tidak jelas atau sangat sedikit sekali maka tidak merubah sifat air mutlak tadi dari sifatnya sebagai air yang suci dan mensucikan. Namun, apabila perubahannya itu jelas maka dia akan mencabut sifatnya dari sifat mensucikan menjadi sifat yang suci namun tidak mensucikan.
 
Kemudian yang kedua, perubahan tersebut disebabkan benda-benda suci yang DAPAT DIHINDARI. Contohnya: teh, kopi. Ini bisa dihindari. Apabila tercampur dengan benda-benda tersebut maka sifat air mutlak menjadi thāhir ghairu muthahhir (suci namun tidak mensucikan).
 
Apabila tercampur dengan benda-benda suci yang tidak dapat dihindari. Contohnya: air sungai yang tercampur dengan lumpur kemudian berubah warnanya, baunya maupun rasanya, atau mata air yang tercampur dengan daun yang berguguran sehingga merubah sifat warnanya, baunya maupun rasanya. Yang semua itu tidak dapat dihindari maka air tersebut tetap pada sifat asalnya yaitu thāhir wa muthahhir (suci dan mensucikan).
 
Demikian yang bisa kita jelaskan pada jenis air yang ke-3 ini kita cukupkan.
 
و صلى الله على محمد و على آله و صحبه و سلم

Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :

Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Tim Materi Bimbingan Islam

BIAS Jumat 6 : Pembagian Jenis Air berdasarkan Penggunaannya dalam Thoharoh Bagian Dua

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
ألسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
وَ الصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللّهِ وَ بَعْدُ.

Para sahabat sekalian yang dirahmati Alloh Subhanahu wa Ta'ala, pada halaqoh yang ke-6 ini kita akan membahas macam-macam air berikutnya.
 
طاهر مطهر مكروه استعماله وهو الماء المشمس

Ini adalah pembagian yang kedua. Sebelumnya kita sudah sebutkan pada pembagian yang pertama:
 
طَاهِرٌ وَ مُطَهِّرٌ

Yang disebut sebagai air mutlak, di mana dia air suci dan mensucikan.
Adapun pembagian yang kedua di sini, penulis menyebutkan:
 
طَاهِرٌ وَ مُطَهِّرٌ مَكْرُوْهٌ اِسْتِعْمَالُهُ وَهُوَ المَاءُ الْمُشَمَّسُ

Air yang suci dan dia bisa mensucikan, akan tetapi dia makruh penggunaannya dan disebutkan yaitu air musyammas.
 
Apa maksudnya air musyammas? Air musyammas yaitu air mutlak yang berada di dalam bejana logam selain emas dan perak, yang dia terkena terik matahari yang sangat. Jadi, disyaratkan di dalam madzhab Syafi'i ini ada 2 syarat bahwasanya dia dikatakan sebagai air musyammas :
 
Yang pertama, dia berada di dalam bejana logam selain emas dan perak. Karena logam-logam tersebut akan terpengaruh oleh sengatan matahari. Di mana partikel-partikel dari logam tersebut akan larut dan memberikan mudhorot bagi orang yang menggunakannya.
 
Syarat yang kedua, bahwasanya air tersebut terkena terik matahari yang sangat kuat. Jadi apabila air mutlak atau air berada dalam logam bejana emas dan perak atau pun selain logam maka tidak dikatakan sebagai air musyammas. Ataupun berada di dalam daerah yang tidak memiliki terik matahari yang sangat, maka juga tidak dikatakan sebagai air musyammas.
Dan pembagian ini adalah khusus di dalam mahdzab Syafi'i, di mana jumhur yang lain tidak melihat adanya pembagian air suci dan mensucikan namun makruh penggunaannya. Di antara dalil-dalil yang digunakan oleh Syafi'iyyah adalah beberapa hadits yang tidak lepas dari riwayat yang dha'if. Di antaranya adalah hadits Ibnu 'Abbas, beliau mengatakan:
 
أَنَّ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: نَهَي عَائِشَةَ رَضِى الله تعالى عَنْهَا عَنِ المُشَمَّسِ, وَقَالَ: إِنَّهُ يُورِثُ البَرَصَ
Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melarang 'Āisyah radhiyallāhu ta'āla 'anha untuk menggunakan air musyammas dan Beliau bersabda: "Karena air tersebut bisa menimbulkan penyakit kusta (yaitu penyakit barash).
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Daruquthni dengan derajat hadits yang dha'if sehingga tidak dapat digunakan sebagai sandaran. Oleh karena itu pendapat yang rojih adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwasanya:
Air musyammas tidaklah makruh dan dia seperti air mutlak yang lainnya yang suci dan mensucikan dan setiap orang bisa menggunakannya.
Dan pendapat ini di rojihkan pula oleh Imam Nawawi AsySyafi'i dalam kitab Ziyādatur Raudhah", beliau berkata:
 
وَهُوَ الرَّاجِحُ من حَيْثُ الدَّلِيل وَهُوَ مَذْهَب أَكثر الْعلمَاء وَلَيْسَ للكراهية دَلِيل يعْتَمد
Bahwasanya kata beliau: "Pendapat ini adalah pendapat yang rojih jika menilik dari dalil yang digunakan dan dia adalah madzhab kebanyakan para ulama (mayoritas para ulama) dan untuk pendapat makruhnya penggunaan air musyammas tidak ada dalil yang bisa dijadikan sebagai sandaran."
Demikian yang bisa kita sampaikan.
 
وَصَلَّى اللّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ أَجْمَعِيْن

Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :

Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Tim Materi Bimbingan Islam

BIAS Jumat 5 : Pembagian Jenis Air berdasarkan Penggunaannya dalam Thoharoh



بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على وسول الله و بعد.

Para ikhwah fiddin a'aazaniyallahu wa iyyaakum wa akhawat fillah.. Pada halaqoh yang ke-5 ini kita akan membahas tentang pembagian macam-macam air dilihat dari penggunaannya di dalam thaharah. Berkata Muallif (pengarang) رحمه اللّه :
 
ثم المياه على أربعة أقسام
Kemudian pembagian air ada 4 macam.
Pembagian 4 macam ini di dalam mahdzab Syafi'iyyah, dimana 3 macam adalah masyhur di kalangan para fuqoha dan 1 macam khusus di dalam madzhab Syafi'iyyah. Tiga macam yang masyhur di dalam pembagian oleh para fuqoha :
  1. Yang pertama air yang thahuur yaitu air yang suci dan mensucikan, contohnya adalah air hujan.
  2. Kemudian air yang thaahir (air yang suci namun tidak mensucikan), contohnya adalah air teh.
  3. Yang ketiga air yang najis yaitu air yang terkena barang atau benda-benda yang najis.
  4. Kemudian pembagian yang KHUSUS didalam madzhab Syafi'i yaitu air yang thahuur wa makruh, air yang suci dan mensucikan akan tetapi air tersebut makruh untuk digunakan.
Berkata Muallif (pengarang) رحمه اللّه setelah menjelaskan bahwasanya pembagian air ada 4 macam, yang pertama :
 
طاهر ومطهر غير مكروه وهو الماء المطلق
Air yang suci dan mensucikan yang dan dia tidak makruh penggunaannya, maka ini adalah air mutlak.
Para ikhwah fiddin a'aazaniyallaahu wa iyyaakum (semoga Allah memuliakan kita)... Air ini adalah air yang digunakan untuk kita bersuci, air yang dia mengangkat hadats dan menghilangkan najis. Dan dia adalah air mutlak. Dan apa itu air mutlak? Dikatakan para ulama:
 
كل ماء بقي على وصفه التي خلقه الله عليه
Yaitu setiap air yang dia masih tetap pada sifat aslinya yang Allah ciptakan dia.
Yang Allah ciptakan air tersebut maka ini disebut sebagai air mutlak, yaitu setiap air yang dia tetap pada sifat asli yang Allah ciptakan Dia dengannya. Kemudian, atau kita katakan :
 
كل ماء نزل من السماء أو نبع من أرض بدون أن يغيره إستخدام البشر و هذا و ماؤه طهور
Atau setiap air yang dia turun dari langit atau muncul ke permukaan dari bumi dan tidak berubah dengan penggunaan manusia maka ini adalah air yang thahuur (suci dan mensucikan).
Apa yang dimaksud dengan :
 
بقي على أصله القطعه
Yaitu dia tetap pada shifat asalnya.
Yaitu maksudnya adalah tidak berubah 3 sifat asli yang terkait dengan warna, maupun baunya, maupun rasanya.
  • Apabila berubah salah satu saja maka air tersebut berubah dari sifat aslinya sehingga tidak bisa digunakan untuk bersuci.
  • Apabila berubah karena benda yang suci maka dia menjadi air yang suci dan tidak mensucikan.
  • Apabila berubah dikarenakan benda yang najis maka dia menjadi air yang najis yang tidak suci dan tidak mensucikan.
Kemudian perlu diketahui bahwa perubahan air disebabkan benda yang suci ada 2 macam :
  1. Yang pertama yang tidak mungkin dihindari seperti misalnya air sungai yang mengalir di tanah atau di batu kapur atau di permukaan lain yang menyebabkan perubahan warna, bau maupun rasanya. Walaupun berubah akan tetapi air tersebut tetap memiliki predikat thahuur (suci dan mensucikan).
  2. Berbeda apabila perubahan yang kedua yaitu perubahan yang bisa dihindari, seperti air teh, ini bisa dihindari. Maka apabila air kemudian diberi dengan teh dan berubah warna, rasa dan baunya atau salah satunya maka dia menjadi air yang suci namun tidak mensucikan.
Oleh karena itu, air disebut air mutlak adalah air yang apabila kita menyebutkan kepada orang lain "air" maka terbetik di dalam pikirannya air yang dimaksud yaitu air yang masih tetap pada sifat penciptaannya yang pertama kali.
 
Demikian, kita akan lanjutkan pada halaqoh berikutnya tentang pembagian yang ke-2 dari pembagian air.
 
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله و صحبه و سلم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :

Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Tim Materi Bimbingan Islam