Hadits Ahad tidak sama dengan hadits marfu', karena berbeda sekali tinjauannya. klo hadits ahad
itu bagian dari hadits yang ditinjau dari banyaknya sanad atau jalur periwayatannya sedangkan marfu' kembali kepada siapa yang
terakhir dalam sanadnya. Hadits Ahad adalah hadits yang belum sampai derajat mutawatir. Hadis Mutawatir adalah hadis yang memiliki
banyak sanad dan mustahil perawinya berdusta atas Nabi Muhammad saw, sebab hadis itu diriwayatkan oleh banyak orang dan disampaikan
kepada banyak orang. Contohnya :
Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya dalam neraka. (H.R Bukhari, Muslim,
Ad Darimi, Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmizi,. Abu Ha'nifah, Tabrani, dan Hakim)
Menurut para ulama hadis, hadis tersebut di atas diriwayatkan oleh lebih dari seratus orang sahabat
Nabi dengan seratus sanad yang berlainan. Oleh sebab itu jumlah hadis Mutawatir tidak banyak.
Dengan demikian hadits marfu' termasuk hadits Ahad bila tidak mencapai mutawatir.
Maksudnya "disandarkan" adalah di sebutkan itu dari Rasulullah atau sahabat. contohnya
:
عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ
مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ
didalam hadits ini Atha bin Yasaar menyandarkan hadits ini kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wa
sallam. Itulah makna "disandarkan".
Siapa saja yang belajar hadits dan ilmu akan berjumpa dengan istilah sanad dan matan. Matan adalah
lafadz hadits yang diambil kandungan pengertiannya. Sebagian ulama mendefinisikannya dengan perkataan yang puncaknya sanad habis
padanya. Sedangkan Sanad adalah ungkapan bagi jalan periwayatan matan atau rangkaian para perawi yang menyampaikan kepada matan.
Seperti kalau dalam hadits :
قَالَ الْبُخَارِيُّ : حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
سَعِيْدٍ الأَنْصَارِيْ قَالَ أَخْبَرَنِيْ مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ التَّيْمِيْ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ
اللَّيْثِيْ
يَقُوْلُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَ
سَلَّمَ يَقُوْلُ :( إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا
يُصِيْبُهَا أَوِ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Sanadnya itu adalah rangkaian perawi yaitu :
-
Abu Bakar Abdullah bin az-Zubeir bin 'Isaa al-Humaidi. meninggal tahun 219 H.
-
Abu Muhammad Sufyan bin 'Uyainah bin Abi 'Imron al-Hilali al-Kufi kemudian al-Makki.
Meninggal pada bulan rajab tahun 178 H dalam usia 71 tahun
-
Abu Sa'id Yahya bin Sa'id bin Qais bin 'Amru al-Anshori al-Madani al-Qaadhi
meninggal tahun 144 H
-
Abu Abdillah Muhammad bin Ibrohim bin al-Haarits bin Kholid at-Taimi al-Madani meninggal tahun
120 H.
-
'Alqamah bin Waqqaash al-Laitsi al-Madani meninggal pada masa kekhilafahan Abdulmalik bin
Marwan, dan
-
Umar bin al-Khothob al-'Adawi sahabat nabi dan kholifah rasyid yang kedua. Rangkaian perawi
(orang yang meriwayatkan hadits) ini semua dinamakan sanad. Sedangkan matannya adalah dari pernyataan Rasulullah bersabda
sampai akhir hadits.
Tabiin adalah para murid sahabat atau orang-orang yang belajar agama kepada para sahabat dalam keadaan
beriman dan meninggal dalam keadaan iman juga. Bisa juga disebut generasi setelah generasi sahabat.
Kitab bulughul maram bisa anda ikuti penjelasan pendahuluan dari pelajaran kita. Kalau diterjemahkan
adalah mencapai kesempurnaan yang diinginkan dalam mengenal hadits-hadits tentang hukum syariat. Ikuti kajian kitab bulughulmaram di kajian hadits whatsapp insya Alloh akan lebih jelas lagi.
Tidak dipungkiri realita seperti ini terjadi dibanyak sekolah, karena jam pelajaran harus tetap
sedangkan jadwal sholat berubah-ubah. Insya Allah tidak mengapa asalkan para murid melakukan sholat berjamaah setelah selesai
pelajaran mereka.
Tidak ada ganti-mengganti dalam hal ini, karena apa yang terjadi pada kisah Nabi Ibrohim dan Ismail
hanya sebagai contoh qurban dan bukan membatasi qurban dengan kambing. Kemudian ada penjelasan dari Nabi shalallahu 'alaihi wa
sallam yang menjeelaskan bolehnya berqurban dengan sapi atau onta. Dengan demikian penjelasan tersebut adalah sebagai tambahan jenis
hewan qurban.
Kambing lebih utama dari 1/7 sapi dan seekor sapi yang disembelih seorang lebih baik dari seekor
kambing. Wallahu a'lam.
Satu qurban berupa kambing cukup sah untuk seorang dan ahli baitnya (keluarganya) dari kaum muslimin
yang ia suka baik masih hidup atau sudah wafat. Telah diriwayatkan bahwa Rasululloh Saw ketika menyembelih qurbannya berkata:
اللهُمّ تَقَبَّلْ عَنْ مُحَمَّدٍ و آلِ مُحَمَّدٍ و َ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ
Ya Alah terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan umat Muhammad.
Sepertujuh onta atau sapi sah mencukupi dari orang yang sah untuk satu kambing. Seandainya seorang
muslim menyembelih sepertujuh onta atau sapi untuknya dan keluarganya maka itu sah dan seandainya berserikat tujuh orang menyembelih
qurban atau hadyu satu onta atau satu sapi maka hal itu sah.
Diperbolehkan suami dan istri berqurban sendiri-sendiri bahkan juga boleh lebih dari satu
perorangnya.
Diperbolehkan berqurban dengan kerbau karena kerbau dimasukkan dalam jenis sapi, seperti disampaikan
imam al-Azhari:
أنواع البقر منها الجواميس وهي أنبل البقر وأكثرها ألبانا وأعظمها أجساما
Diantara jenis sapi adalah kerbau. Kerbau adalah sapi yang bagus dan lebih banyak susu dan badannya
lebih besar. Sehingga dimasukkan dalam hewan qurban yang sah dipotong dalam madzhab
Syafi'i. (lihat dalam kitab at-tambih fi Madzhab asy-Syafi'i karya Asy-Syairazi dalam kitab zakat).
Apabila keluarga yang masih kafir memberikan hadiah dana tersebut maka setelah menjadi miliknya dapat
digunakan untuk membeli kambing atau menutupi kekurangannya. Dengan demikian maka sah kurban dengan hewan tersebut.
Diantaranya adalah beberapa kampung di wilayah desa PELEM kelurahan Jembangan Kec Plupuh Kab Sragen
dan desa NDULAS Kelurahan GADING Kecamatan TANON kabupaten SRAGEN. Masih ada kemungkinan beberapa kampung didaerah kabupaten Sragen
menjadi target misionaris dan kami sedang menjajaki hal tersebut.
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah wanita yang haid boleh membaca Al-Quran atau tidak? Dan
yang kuat -wallahu a'lam- diperbolehkan bagi wanita yang sedang haid untuk membaca Al-Quran karena tidak adanya dalil yang shahih
yang melarang.
Bahkan dalil menunjukkan bahwa wanita yang haid boleh membaca Al-Quran, diantaranya sabda Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Aisyah radhiyallahu 'anha yang akan melakukan umrah akan tetapi datang haid :
ثم حجي واصنعي ما يصنع الحاج غير أن لا تطوفي بالبيت ولا تصلي
Kemudian berhajilah, dan lakukan apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji kecuali thawaf dan
shalat. (HR.Al-Bukhary dan
Muslim, dari Jabir bin Abdillah)
Berkata Syeikh Al-Albany:
Hadist ini menunjukkan bolehnya wanita yang haid membaca Al-Quran, karena membaca Al-Quran termasuk
amalan yang paling utama dalam ibadah haji, dan nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah membolehkan bagi Aisyah semua amalan
kecuali thawaf dan shalat, dan seandainya haram baginya membaca Al-Quran tentunya akan beliau terangkan sebagaimana beliau
menerangkan hukum shalat (ketika haid), bahkan hukum membaca Al-Quran (ketika haid) lebih berhak untuk diterangkan karena tidak
adanya nash dan ijma' yang mengharamkan, berbeda dengan hukum shalat (ketika haid). Kalau beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam melarang Aisyah dari shalat (ketika haid) dan tidak berbicara tentang hukum membaca Al-Quran (ketika haid) ini menunjukkan
bahwa membaca Al-Quran ketika haid diperbolehkan, karena mengakhirkan keterangan ketika diperlukan tidak diperbolehkan,
sebagaimana hal ini ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh, dan ini jelas tidak samar lagi, walhamdu lillah. (Hajjatun Nabi hal :
69).
Wanita haidh boleh membaca al-Qur`an melalui hafalannya dan melalui mush-haf baik langsung atau tidak
langsung menyentuh, Namun dalam membacanya sebaiknya menggunakan alas atau kain yang membuat wanita haidh tersebut tidak menyentuh
langsung mush-haf al-Qur`an, karena adanya fatwa ulama yang melarang menyentuh langsung ke mush-haf seperti pendapat Ulama empat
madzhab Hanafiyyah (Al-Mabsuth 3/152), Malikiyyah (Mukhtashar Al-Khalil hal: 17-18), Syafi'iyyah (Al-Majmu' 2/67), Hanabilah
(Al-Mughny 1/137) dan syeikh bin Baaz rahimahullah ta'ala.
Berkata Syeikh Bin Baz:
يجوز للحائض والنفساء قراءة القرآن في أصح قولي العلماء ؛ لعدم ثبوت ما يدل على النهي عن ذلك بدون مس
المصحف، ولهما أن يمسكاه بحائل كثوب
طاهر ونحوه، وهكذا الورقة التي كتب فيها القرآن عند الحاجة إلى ذلك
Boleh bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al-Quran menurut pendapat yang lebih shahih dari 2
pendapat ulama, karena tidak ada
dalil yang melarang, namun tidak boleh menyentuh mushhaf, dan boleh memegangnya dengan penghalang seperti kain yang bersih atau
selainnya, dan boleh juga memegang kertas yang ada tulisan Al-Quran (dengan menggunakan penghalang) ketika diperlukan"
(Fatawa Syeikh Bin Baz 24/344).
Daging babi hukumnya najis dan yang memegangnya harus mencuci tangannya agar bersih dari najis
memegang dagingnya tersebut.
Menggunakan bejana atau wajan yang pernah dipakai masak daging babi sebaiknya tidak digunakan bila ada
yang lainnya. Bila tidak hendaknya dicuci bersih hingga hilang najis sisa masak daging babinya. Akan ada pembahasan secara khusus
tentang ini dalam bab Bejana dari kitab yang kita pelajari kitab Bulughulmaram insya Allah.
Tergantung maksud dari patungan tersebut. Bila maksudnya adalah iuran sejumlah orang atas satu kambing
untuk semua yang ikutan urunan maka tidak diperbolehkan.
Ana belom tahu.
Memang hal ini menjadi perselisihan ulama. Sebagian ulama memandang mengadzankan bayi yang baru lahir
hukumnya sunnah, karena adanya banyaknya jalan periwayatan hadits-hadits pensyariatan adzan pada bayi. Sedangkan ulama lain memandang
tidak disyariatkan mengadzankan bayi yang lahir karena hadits-hadits tentang hal ini semuanya lemah dan tidak bisa diangkat menjadi
hadits yang hasan.
Diantara hadits-hadits tersebut adalah:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ
عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ
بِالصَّلَاةِ
Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beradzan ditelinga Al Hasan bin Ali ketika
Fathimah melahirkannya, seperti adzan untuk shalat.
Hadits ini yang paling bagus kualitasnya dalam masalah ini. Namun ada perawi bernama 'Ashim bin
'Ubaidillah yang dilemahkan para ulama hingga dikatakan "munkarul hadits fil ashl"
Terdapat jalan lain, dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Mu'jam Al Kabir,
أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ حِينَ وُلِدَا ، وَأَمَرَ بِهِ
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beradzan ditelinga Al Hasan dan Al Husain ketika dilahirkan,
dan memerintahkannya. Hadits ini juga lemah sekali karena adanya Ashim bin Ubaidillah.
Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman,
أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ
يَوْمَ وُلِدَ ، فَأَذَّنَ فِي
أُذُنِهِ الْيُمْنَى ، وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى
Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam adzan di telinga kanan Al Hasan bin Ali pada hari kelahirannya
dan iqamah di telinga kirinya. Dalam hadits ini ada Al Hasan bin 'Amr, yang juga dihukumi dengan "Matrukul Hadits"
(perawi yang sangat lemah sekali).
Hadits ketiga dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Syu'abul
Iman,
عَنِ الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ
فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى ، وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى رُفِعَتْ عَنْهُ أُمُّ الصَّبِيَّاتِ
Dari Al Hasan bin Ali, ia berkata: Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:
"Barangsiapa yang baru lahir bayinya lalu ia beradzan di telinga kanannya dan iqamah di telinga kirinya, maka ummu shabiyyat
tidak akan memberi bahaya baginya"
Namun juga masalah pada Yahya bin 'Ala Ar Razi yang juga perawi sangat lemah. Kesimpulannya, semua hadits tentang adzan pada bayi adalah lemah dan tidak bisa dikuatkan dengan banyaknya riwayat
yang ada karena seluruhnya lemah sekali.
Inilah yang membuat Ibnu Hibban dalam Al Majruhin, Asy Syaukani dalam Nailul Authar, Al Albani dalam
Silsilah Al Ahadits Adh Dha'ifah dan Abu Ishaq Al Huwaini melemahkan hadits tersebut. Dengan demikian jelaslah bahwa tidak disyariatkan adzan pada bayi adalah pendapat yang rojih. Wallahu
a'lam.
-
Ustadz, saya mau bertanya seputar qurban. Ada larangan memotong rambut dan kuku bagi yg berniat
qurban. Apabila qurban tersebut atas nama anak, dimana orang tua yang membelikan hewan tersebut karena anak masih kecil. Apakah
anak tersebut termasuk ke dalam orang-orang yang tidak boleh memotong kuku dan rambut? Atau karena orang tuanya yang membelikan
hewan qurban tersebut maka hanya orang tua nya saja yg melaksanakan larangan tersebut? Terima kasih
Anak tersebut yang ingin berqurban tidak boleh memotong rambut dan kukunya hingga qurbannya
disembelih.
Asuransi yang tidak dilakukan untuk bisnis diperbolehkan para ulama lihat fatwa asuransi taawun dari
Majma' Fikih Islam dan fatwa DSN. BPJS bila tidak ada tujuan bisnis cari keuntungan maka diperbolehkan.
-
Dalam bab air, bila air itu berubah warna, namun tidak berbau, apakah masih mensucikan? Atau bila
tidak berubah warna namun bau, biasanya yang asalnya dari rawa, bagaimana? Dalam bab cara
buang air, hadits 104, kita tidak boleh membelakangi atau menghadap kiblat, bagaimana dengan kondisi orang yang rumahnya sangat
terbatas tdk ada tempat lagi untuk menggeser toiletnya? Jazaakumulloh khoiron
Air yang berubah warnanya perlu dilihat apa yang membuatnya berubah warna. Apabila benda suci maka
tidak menjadi najis, namun
bila yang mencampurinya adalah benda najis maka air tersebut menjadi najis. Ini karena air yang tercampur najis bila berubah satu
sifatnya atau lebih maka menjadi najis. Nah sifat air itu dilihat kepada sifat warna, bau dan rasa. maka bila ada yang berubah warna
atau bau atau rasa oleh najis maka air tersebut menjadi najis.
Tentang wc yang menghadap kiblat atau membelakanginya, menurut pendapat yang rojih seperti dirojihkan
imam al-Bukhari, asy-Syaukani dan
banyak ulama kontemporer bahwa wc yang ada dibangun dirumah-rumah diperbolehkan menghadap atau membelakangi ka'bah. Namun
alangkah
baiknya bila dibuat tidak menghadap atau membelakangi ka'bah. Nah kondisi saudara insya Allah diperbolehkan. Wallahu 'alam.
Sumber : WA Group Tanya Jawab KlikUk.com Ustadz Kholid Syamhudi Lc. dengan pengeditan beberapa kata (penyingkatan kata, penggunaan bahasa daerah, bahasa tidak baku dll) agar mudah dipahami.