BIAS Jumat 12 : Hukum Bejana (Wadah) dari Emas dan Perak

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله, أما بعد.

Para sahabat sekalian yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita lanjutkan pada halaqoh yang ke-12 pada matan Abu Syujā'.
 
ولا يجوز استعمال أواني الذهب والفضة ويجوز استعمال غيرهما من الأواني.
Dan tidak diperbolehkan menggunakan bejana (wadah) yang terbuat dari emas dan perak dan diperbolehkan untuk menggunakan bejana (wadah) yang lainnya selain wadah yang terbuat dari emas dan perak.
Para pembahasan emas dan perak ini, ada beberapa point yang akan kita jelaskan secara ringkas.
 
Pertama, hukum menggunakan bejana (wadah) emas dan perak adalah haram, baik bagi laki-laki maupun wanita. Dalilnya sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam :
 
(لا تشربوا في آنية الذهب والفضة ولا تأكلوا في صحافها ، فإنها لهم في الدنيا ولكم في الآخرة ) . متفق عليه .
Janganlah kalian meminum dari wadah-wadah yang terbuat dari emas dan perak dan juga kalian makan dari piring (mangkuk) yang terbuat dari emas dan perak karena sesungguhnya hal itu adalah untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kita nanti di akhirat. (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, termasuk didalam makna "bejana" disini adalah segala wadah yang kecil maupun yang besar, seperti cangkir, gelas dan lainnya maka dia termasuk di dalam larangan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam. Begitu pula segala media yang digunakan untuk makan atau minum seperti piring, tempayan dan lainnya maka apabila terbuat dari emas dan perak hukumnya adalah haram. Dan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberikan peringatan yang sangat keras terhadap masalah ini. Beliau bersabda :
 
((مَن شَرِب في إناءٍ من ذَهبٍ أو فِضَّة، فإنَّما يُجرجِر في بطنِه نارًا من جَهنَّم)) رواه مسلم (2065)
Barangsiapa minum dari wadah (cangkir) yang terbuat dari emas atau perak maka sesungguhnya dia telah mendidihkan perutnya dengan api dari Jahannam". (HR. Muslim)
Kedua, bolehkhn kita menggunakan emas dan perak untuk barang-barang selain wadah minum ataupun makan? Disini para ulama (imam madzhab) bersepakat bahwasanya hukumnya adalah haram. Seperti menggunakan sendok, gantungan kunci, jam dinding, pena, perhiasan/souvenir, kancing, dari emas dan perak maka ini hukumnya haram, baik yang murni maupun sepuhan.
 
Dikecualikan (yang diperbolehkan) adalah:
  1. perhiasan bagi wanita, seperti kalung, cincin, gelang kaki, gelang tangan, anting dan semisalnya.
  2. cincin perak bagi laki-laki, sebagaimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memakai cincin dari perak.
  3. alat tukar dan mata uang, sebagaimana pad zaman Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam telah digunakan sebagai dinar atau dirham.
Syaikh Bin Bāz ketika Beliau ditanya tentang pena yang terbuat dari emas dan perak maka Beliau menjawab:
 
الأقلام من الذهب والفضة لا يجوز استعمالها للرجال والنساء جميعا ؛ لأنها ليست من الحلية وإنما هي أشبه بأواني الذهب والفضة ، والأواني من الذهب والفضة محرمة على الجميع
Pena-pena yang terbuat dari emas dan perak tidak boleh digunakan baik bagi laki-laki maupun perempuan seluruhnya. Karena sesungguhnya pena tadi tidaklah termasuk dari perhiasan yang diperkecualikan (dibolehkan) dalam syari'at. Akan tetapi dia lebih tepat dikategorikan hukumnya sama dengan wadah-wadah yang terbuat dari emas dan perak. Dan adapun wadah yang terbuat dari emas dan perak maka hukumnya adalah haram bagi laki-laki maupun wanita.
لقول النبي صلى الله عليه وسلم : ( لا تشربوا في آنية الذهب والفضة ، ولا تأكلوا في صحافها ، فإنها لهم في الدنيا [يعني : الكفرة] ، ولكم في الآخرة ) متفق على صحته.
Berdasarkan sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:
Janganlah kalian minum dari wadah-wadah yang terbuat dari emas maupun perak...".
Demikianlah pendapat Syaikh Bin Bāz mengenai barang-barang yang terbuat dari emas dan perak selain wadah (bejana) yang sudah jelas keharamannya. Senada dengan fatwa Syaikh Bin Bāz, juga fatwa Syaikh Jibrin dan Syaikh Shālih Fauzan dan para ulama terkini lainnya.
 
Ketiga, bolehkah kita menyimpan wadah-wadah/bejana/cangkir yang terbuat dari emas dan perak walaupun kita tidak menggunakannya? Maka disini dijawab oleh jumhur fuqaha (para ahli fiqh) mengatakan keharamannya walaupun kita tidak menggunakannya. Dan ini adalah sebagai pengamalan dari sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam :
 
... فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي اَلدُّنْيَا...
... Karena sesungguhnya emas dan perak itu adalah untuk mereka (orang-orang kafir) didunia ini...
Keempat, hukum bersuci dengan wadah dari emas dan perak. Apabila seseorang bersuci dari wadah yang terbuat dari emas dan perak maka hukumnya adalah sah, akan tetapi dia berdosa karena melanggar perintah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
 
Kelima, hikmah dibalik larangan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam untuk menggunakan peralatan ataupun bejana-bejana yang terbuat dari emas dan perak.
  1. Ini adalah sebagai ujian bagi seorang mu'min, apakah dia lebih mencintai Allāh dan RasulNya ataukah dia lebih mengutamakan hawa nafsunya.
  2. Sebagai latihan agar kita sebagai seorang mu'min tidak tertipu dengan gemerlapnya dunia karena sesungguhnya dunia adalah sementara (fana).
Sikap bermewah-mewahan akan menghancurkan kita di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, kita simak bagaimana nashihat Syaikh Bin Bāz mengenai masalah ini.
 
فالواجب على المسلم الحذر مما حرم الله عليه، وأن يبتعد عن الإسراف والتبذير والتلاعب بالأموال
Maka wajib bagi setiap muslim agar berhati-hati terhadap perkara-perkara yang Allāh haramkan padanya dan hendaklah dia menjauhi dari sikap bermewah-mewahan dan membuang-buang harta serta berfoya-foya dengan harta.
فالواجب على المؤمن أن يصرف المال في جهته الخيرية
Maka wajib bagi setiap muslim untuk menyalurkan hartanya pada perkara-perkara kebaikan.
Oleh karena itu, harta kita yang sebenarnya adalah yang ada disisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Allāh Ta'āla berfirman:
 
مَا عِندَكُمْ يَنفَدُ ۖ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ بَاقٍ ۗ
Apa yang ada pada sisi kalian itu akan hilang semua, dan apa yang ada disisi Allāh itulah yang akan kekal selamanya. (An-Nahl 96)
Sesungguhnya harta yang kita sedekahkan itu adalah harta kita dan harta yang kita tumpuk (kumpulkan) itu adalah harta orang lain yang akan kita tinggalkan. Oleh karena itu hendaklah kita belajar terus, menempa diri kita agar terbiasa kita terus bersedekah, karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menganjurkan :
اتّقوا النّار ولو بِشِقِّ تمرة
Dan jagalah diri kalian dari api neraka walaupun dengan separuh kurma (yaitu dengan bersedekah dengan separuh kurma).
Demikian yang bisa kita sampaikan.
و صلى الله على محمد و على آله و صحبه و سلم
 
Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :

Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Tim Materi Bimbingan Islam

BIAS Jumat 11 : Hal-hal Yang Berkaitan Dengan Najis

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله, أما بعد.

Para sahabat sekalian yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita lanjutkan pada halaqoh yang ke-11. Yang mana pada halaqoh kali ini kita akan sedikit membahas tentang beberapa masalah yang berkaitan dengan najasah.
 
Masalah yang pertama; hukum menghilangkan najis. Hukumnya adalah wajib, sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:
 
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
Dan pakaianmu bersihkanlah (sucikanlah) (Al-Muddatstsir 3).
Dan juga dalam sebuah hadits, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
 
أَكْثَرُ عَذَابِ اَلْقَبْرِ مِنْ البَوْلِ
Kebanyakan adzab/siksa didalam kubur adalah disebabkan karena kencing.
Yaitu maksudnya dia tidak bersuci (mensucikan) kemaluannya dari kencing tersebut. Ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ahmad dan Hakim.
 
Kedua, macam-macam najis. Maksudnya disini adalah akan disebutkan hal-hal yang disebutkan oleh para ulama, di mana hal tersebut adalah termasuk hal yang najis, baik disepakati atau di sana ada perbedaan para ulama di dalamnya.
  • Bangkai
Bahwasanya bangkai adalah najis dan sudah kita jelaskan bagian-bagiannya dan juga pengecualiannya (pada halaqoh sebelumnya).
  • Daging babi
Ini juga najis, sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:
 
أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
Atau daging babi karena itu adalah najis (Al-An'am 145).
  • Kencing dan kotoran anak Adam (manusia)
Para ulama sepakat tentang kenajisannya.
  • Kencing dan kotoran hewan
Adapun hewan yang diperbolehkan untuk dimakan, di sana ada khilaf (perbedaan pendapat), seperti kambing, sapi dan kelinci apakah kotoran dan kencingnya najis. Maka yang rajih (kuat) adalah pendapat yang tidak najis (thāhir). Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad. Dalilnya, dalam sebuah hadits shahih, dimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkan kaum Uraniyyun untuk meminum kencing dari kencing unta dalam rangka mengobati penyakit mereka. Dan seandainya kencing tersebut adalah najis maka tidak boleh diminum. Ini menunjukkan bahwasanya kencing hewan yang bisa dimakan adalah tidak najis. Hadits ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.
  • Air liur anjing
Ini juga disebutkan oleh para ulama termasuk hal yang najis. Dalilnya adalah dalam sebuah hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkan untuk mencuci bejana yang dijilat oleh anjing sebanyak 7 kali yang salah satunya dengan tanah.
  • Darah
Adapun darah haidh dan nifas maka dia adalah najis sebagaimana kesepakatan para ulama. Sedangkan darah yang lainnya menurut pendapat jumhur (mayoritas) para ulama dia adalah najis namun dengan syarat. Syaratnya adalah masfūhan (darah tersebut mengalir). Sebagaimana hal ini disebutkan didalam ayat. Oleh karena itu jika darah tidak mengalir, maka dia tidaklah najis. Adapun pendapat didalam madzhab Syafi'iyyah, membedakan antara banyak dan sedikitnya. Jika banyak dia najis. Jika sedikit tidak najis karena perkara tersebut adalah perkara yang dimaafkan (ma'fuw)
  • Cairan madzi
Cairan madzi adalah cairan yang keluar dari kemaluan seseorang tatkala tergerak syahwatnya. Ini dihukumi oleh para ulama sebagai cairan yang najis dan membatalkan wudhu.
  • Cairan mani
Namun pendapat yang shahih bahwasanya air (cairan) mani adalah suci dan tidak najis.
  • Cairan wadhi
Yaitu cairan yang keluar dari kemaluan yang biasanya setelah kencing. Ini adalah najis.
  • Khamr
Dimana sebagian ulama mengatakan khamr adalah najis dan sebagian yang lain mengatakan khamr adalah thāhir (suci). Pendapat yang rajih (kuat) bahwasanya khamr adalah tidak najis (suci). Demikianlah sekilas beberapa perkara yang termasuk perkara-perkara yang disebutkan oleh para ulama tentang kenajisannya.
 
Dan in syā Allāh pada halaqoh berikutnya kita akan kembali membacakan matan (teks) dari penulis Abu Syuja'.
 
و صلى الله على محمد و على آله و صحبه و سلم
 
Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :

Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Tim Materi Bimbingan Islam

Bias 18 : Adab Makan (Makan dan Minum Dengan Tangan Kanan)

َ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ (أخرجه مسلم
Dari Ibnu 'Umar radhiyallāhu 'anhumā bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda :
Jika salah seseorang di antara kalian makan, maka hendaknya dia makan dengan tangan kanannya dan jika minum maka hendaknya juga minum dengan tangan kanannya. Karena sesungguhnya syaithan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya pula." (HR. Muslim)
Para ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'ālā, sebagian ulama berpendapat bahwasannya makan dan minum dengan tangan kanan hukumnya hanya sekedar sunnah, tidak sampai pada derajat wajib karena ini berkaitan dengan masalah adab dan pengarahan.
 
Namun pendapat yang benar adalah bahwasanya makan dan minum dengan tangan kanan hukumnya adalah WAJIB, bukan sekedar sunnah. Karena banyak dalil yang menunjukkan hal ini. Di antara dalilnya adalah :
 
Pertama, dalil yang kuat adalah hadits ini, yaitu makan dan minum dengan tangan kanan dalam rangka untuk menyelisihi syaithan yang makan dan minum dengan tangan kiri. Dan Allāh Subhānahu wa Ta'ālā memerintahkan kita untuk menyelisihi syaithan dan kita wajib untuk menyelisihi syaithan. Kata Allāh Subhānahu wa Ta'ālā:
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. (QS An Nuur: 21)
Karena sifat syaithan makan dan minum dengan menggunakan tangan kiri, maka kita diperintahkan untuk menyelisihinya. Ini juga berkenaan dengan beriman dengan yang ghaib yaitu tentang syaithan. Syaithan tidak dapat kita lihat akan tetapi kita meyakini bahwa syaithan juga makan dan minum dengan menggunakan tangan kiri.
 
Di antara dalil yang menguatkan bahwa syaithan makan dan minum adalah bahwasanya dalam beberapa hadist Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam yang menyebutkan tentang dampak dari makan dan minumnya syaithon yaitu buang air. Dalam hadits disebutkan, ada seseorang di sisi Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan :
 
مَا زَالَ نَائِمًا حَتَّى أَصْبَحَ، مَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ، فَقَالَ‏:‏ بَالَ الشَّيْطَانُ فِي أُذُنِهِ‏.
Bahwasanya orang tersebut ketiduran sampai pagi hari dan tidak bangun untuk shalat shubuh.
Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan bahwa syaithan telah kencing di telinga orang tersebut ini sehingga tertidur pulas dan tidak mendengar adzan shubuh (HR. Bukhari)
 
Dalam hadits yang lain Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan bahwa syaithan buang angin. Disebutkan bahwasanya tatkala orang hendak shalat maka syaithan akan mengganggu. Kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:
 
إِذَا نُودِيَ بِالصَّلاةِ ، أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ
Jika dikumandangkan adzan untuk shalat maka syaithon pun lari dan dia memiliki kentut dan buang angin.
Ini juga menunjukkan bahwa syaithan makan dan minum kemudian buang air dan juga buang angin. Kita beriman akan hal yang ghaib ini.
 
Jadi yang menunjukkan bahwa makan dan minum dengan tangan kanan adalah hukumnya WAJIB adalah karena kita diperintahkan untuk menyelisihi syaithan yang makan dan minum dengan tangan kiri.
 
Kedua, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkannya secara mutlak. Contohnya ketika Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkan :
 
يَا غُلامُ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ
Wahai anak muda, makanlah dengan tangan kananmu.
Ketiga, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah mendoakan keburukan bagi orang yang makan dengan tangan kiri.
 
أن رجلا أكل عند رسول الله صلى الله علية وسلم بشماله . فقال : " كل بيمينك " قال : لا أستطيع . قال : " لا استطعت " ما منعه إلا الكبر . قال : فما رفعها إلى فيه .
Dalam hadits Salamah bin Al Akwa radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, ada seorang yang makan di sisi Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dengan tangan kiri, maka beliau mengatakan :
Makanlah dengan tangan kananmu.
Kata orang tersebut:
Saya tidak bisa makan dengan tangan kanan.
Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mendoakan keburukan bagi orang ini, beliau mengatakan:
Engkau tidak akan mampu, sesungguhnya tidak menghalanginya kecuali karena kesombongan.
Maka orang ini pun tidak mampu mengangkat tangan kanannya untuk makan setelah itu, dia selalu menggunakan tangan kirinya.
Kenapa? Karena dia tidak mau menggunakan tangan kanan dan karena dido'akan keburukan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Kalau perkara makan dengan tangan kanan hanyalah sunnah, tidak wajib, maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak akan mendo'akan keburukan bagi orang ini.
 
Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'ālā, di antara perkara yang perlu kita perhatikan adalah bahwa yang merupakan perkara ta'abbud (ibadah) adalah makan dan minum dengan tangan kanan. Adapun menggunakan sendok atau sumpit untuk makan maka ini merupakan perkara adat istiadat. Yang penting, tatkala kita menggunakan sumpit atau sendok tersebut kita menggunakannya dengan tangan kanan.
 
Perkara yang perlu saya ingatkan juga adalah:
 
Pertama, mengenai minum dengan tangan kiri. Kebiasaan sebagian orang tatkala sedang makan kemudian merasa tangan kanannya kotor maka dia pun memegang gelas dengan tangan kiri kemudian minum dengan tangan kiri tersebut. Ini merupakan perkara yang diharamkan (tidak boleh), meskipun tangannya kotor harus memegang gelas tersebut dengan tangan kanan, nanti toh gelas tersebut akan dicuci juga. Sehingga, jangan gara-gara takut gelasnya kotor maka kemudian minum dengan tangan kiri karena ini mengikuti cara syaithan.
 
Kedua, demikian juga jika seseorang makan dengan menggunakan dua tangan misalnya, tangan kanannya memegang sendok dan tangan kirinya memegang garpu. Maka ingatlah, tangan kiri hanya sekedar untuk membantu tapi tatkala mengangkat makanan hendaknya dengan tangan kanan. Jangan sampai karena menggunakan garpu dengan tangan kirinya, kemudian dia makan dengan tangan kirinya juga, inipun diharamkan oleh para ulama karena mengikuti syaithan.
 
Demikianlah apa yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini
 
وبالله التوفيق والهداية
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 

Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :


Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Tim Materi Bimbingan Islam

Bias 17 : Adab Berpakaian (Hukum Isbal)

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
 
Dari Ibnu 'Umar radhiyallāhu Ta'ālā 'anhumā beliau berkata: Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
 
َلَا يَنْظُرُ اَللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ 
Allāh tidak akan memandang orang yang menggeretkan (menjulurkan pakaiannya hingga terseret) pakaiannya karena sombong (Muttafaqun 'alaih, HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Lafazh Tsaub atau pakaian pada "مَنْ جَرَّثَوْبَهُ " (orang yang menggeret/menjulurkan sehingga terseret pakaiannya) bermakna umum. Yaitu kullu mā yulbas yang artinya "setiap yang dipakai", mencakup: sarung, celana, jubah atau pakaian apa saja. Semuanya dilarang untuk dipakai jika panjang dan tergeret/terseret di atas tanah yang dilakukan karena sombong. Orang yang melakukan demikian tidak akan dilihat oleh Allah.
 
Dalam riwayat disebutkan yaumal qiyāmah (pada hari kiamat), sehingga artinya:
Allāh tidak akan melihat dia dengan pandangan rahmat (kasih sayang) ada hari kiamat.
Padahal kita tahu pada hari kiamat, hari yang sangat dahsyat dan mengerikan, seseorang sangat butuh dengan kasih sayang (rahmat) Allāh Subhānahu wa Ta'ālā. Orang yang isbal karena sombong akan tidak diperdulikan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'ālā. Ini dalil bahwasanya isbal karena sombong merupakan dosa besar. Para ulama bersepakat tentang keharamannya jika isbal dilakukan karena sombong. Adapun jika isbal dilakukan dengan niat tidak karena sombong, hanya sekedar ikut gaya berpakaian maka ada khilaf di antara para ulama.
 
Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwasanya isbal yang dilakukan tidak karena sombong maka hukumnya makruh, tidak sampai derajat haram. Karena pengharaman isbal oleh Allāh Subhānahu wa Ta'ālā adalah karena ada 'illah (sebab) nya, yaitu kesombongan. Jika ternyata kesombongan tersebut tidak menyertai hati orang yang melakukan isbal maka hukumnya hanya sampai kepada derajat makruh, tidak sampai pada derajat haram. Dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama Syafi'iyyah seperti Imam Syafi'i, Imam Nawawi dan yang lainnya.
 
Adapun sebagian ulama memandang bahwasanya isbal meskipun tidak karena sombong maka hukumnya haram secara mutlak. Dan ini merupakan pendapat madzhab Hanbali dan juga dipilih oleh Al Qadhi'iyyat dan Ibnul 'Arabi dari madzhab Malikiyyah dan juga pendapat Al Hafizh Ibnu Hajar dari madzhab Syafi'iyyah. Dan ini juga pendapat yang dipilih oleh ulama sekarang seperti Syaikh Al Albani, Syaikh Abdul 'Aziz Bin Baz dan Syaikh Shalih Al-'Utsaimin rahimahumullāhu Ta'ālā. Kalau kita melihat secara dalil, maka dalil-dalil yang mengatakan isbal adalah haram secara mutlak adalah lebih kuat.
 
Diantara dalilnya adalah:
 
Pertama, hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:
 
فَإِنَّ وَإِسْبَالَ الإِزَارِ مِنَ الْمَخِيلَةِ

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan Imam Ahmad dengan sanad yang hasan.
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan bahwa sesungguhnya isbal adalah termasuk dari kesombongan.
Jadi isbal itu sendiri sudah termasuk kesombongan berdasarkan perkataan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.
 
Kedua, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tatkala menegur sebagian sahabat untuk tidak isbal, untuk mengangkat sarung mereka di atas mata kaki, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak pernah bertanya kepada mereka terlebih dahulu apakah sahabat melakukannya karena sombong atau tidak. Misalkan, "Kalau kau melakukannya karena sombong maka angkat, kalau tidak karena sombong maka tidak usah angkat." Siapa saja ditegur oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.
 
Ketiga, kisah 'Umar radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu ketika akan meninggal dunia. Tatkala akan meninggal dunia datang seorang pemuda yang memuji 'Umar bin Khattab radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, setelah lelaki tersebut memuji 'Umar kemudian pergi dan dipanggil lagi oleh 'Umar. Kemudian 'Umar berkata:
 
ارْفَعْ ثَوْبِكَ فَإِنَّهُ أَتْقَى لِرَبِّكَ
Angkatlah pakaianmu, sesungguhnya (jika engkau tidak isbal) maka itu lebih bertaqwa kepada Rabbmu dan lebih bersih bagi pakaianmu.
Lihat perkataan 'Umar radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu dan 'Umar tidak bertanya, "Engkau melakukannya sombong atau tidak?" Akan tetapi langsung diperintahkan untuk mengangkat pakaiannya oleh 'Umar bin Khattab radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu.
 
Keempat, kemudian di antara dalil bahwasanya isbal haram secara mutlak yaitu tatkala Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan
 
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ 
Seluruh pakaian yang berada dibawah mata kaki maka di neraka Jahannam (HR. Bukhari No.5787)
Hadits ini dipandang keumumannya bahkan oleh Ummu Salamah radhiyallāhu Ta'ālā 'anhā (istri Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam).
 
Tatkala mendengar hadits ini, mereka khawatir kalau wanita terkena juga ancaman ini. Padahal kita tahu bahwa para wanita tatkala mereka isbal sama sekali bukan karena sombong tetapi karena dalam rangka untuk tertutup aurat mereka, namun mereka khawatir terkena ancaman hadits ini (setiap yang dibawah mata kaki dineraka Jahannam).
 
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ؟ قَالَ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُرْخِيْنَ شِبْرًا. فَقَالَتْ: إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ. قَالَ: فَيُرْخِيْنَهُ ذِرَاعًا لا يَزِدْنَ عَلَيْهِ
Maka Ummu Salamah pun menanyakan hal ini kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam sehingga Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengizinkan dengan mengatakan: "Hendaknya mereka menjulurkan rok mereka sehingga dengan panjang 1 jengkal." Maka Ummu Salamah masih berkata lagi: "Kalau begitu nanti kaki-kaki mereka akan tersingkap." Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengizinkan dia menambah. Kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam: "Tambah lagi, julurkanlah sehingga dengan jarak sehasta." (HR. At-Tirmidzi no. 1731, kitab Al-Libas, bab Ma Ja'a fi Jarri Dzuyulin Nisa', diriwayatkan pula oleh selain Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi)
Ini menunjukkan bagaimana semangatnya para wanita agar kaki-kaki mereka tidak tersingkap sehingga rok mereka dipanjangkan tergeret ditanah dengan panjang sehasta dan tidak boleh lebih lagi daripada ini. Ini adalah dalil bahwasanya Ummu Salamah memandang isbal haram secara mutlak bahkan mencakup para wanita untuk isbal. Namun datang dalil dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yang mengecualikan para wanita.
 
Kalau memang isbal diharamkannya hanya karena sombong maka para wanita tidak perlu untuk khawatir masuk dalam ancaman tersebut, karena mereka memanjangkan rok mereka bukan karena sombong tapi karena agar tertutup aurat mereka. Kemudian, para ulama yang menyatakan bahwasanya isbal adalah haram secara mutlak, baik sombong atau tidak sombong, menyebutkan hikmahnya dilarang isbal:
  1. Bahwa ini adalah sikap berlebih-lebihan (israf), seseorang tidak perlu pakai pakaian berlebihan apalagi sampai panjang sampai menjulur ke tanah.
  2. Bisa menyebabkan kotoran mengenai bajunya bisa juga ada kotoran yang lengket pada pakaiannya.
  3. Yang berikutnya adalah ini termasuk pemandangan yang menarik perhatian, orang memakai pakaian kemudian pakaiannya terjulur di tanah maka ini semua diharamkan.
Intinya para ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'ālā, isbal jika dilakukan karena sombong merupakan dosa besar dan ancamannya berat. Namun jika dilakukan tidak karena sombong maka dia lebih ringan dosanya dan ancamannya pun lebih ringan akan tetapi isbal haram secara mutlak. Dan para ulama tentunya sepakat bahwasanya di antara sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah memakai pakaian di atas mata kaki baik sarung, celana atau jubah bagi kaum lelaki.

والله تعالى أعلم بالصواب
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 

Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :

Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Tim Materi Bimbingan Islam

Bias Jumat 10 : Hukum Tulang dan Rambut Dari Bangkai

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله, أما بعد.
Para sahabat sekalian, kita lanjutkan pada halaqoh yang ke-10 yang masih membahas tentang seputar najis. Di mana sebelumnya telah dibahas tentang kulit bangkai. Beliau melanjutkan:
 
قَال رَحِمَهُ اللّهُ: وَ عَظْمُ الْمَيْتَةِ وَ شَعْرُهَا نَجَسٌ إِلّاَ اْلآدَمِى
Dan tulang hewan bangkai serta rambutnya adalah najis kecuali manusia.
Ini adalah pendapat di dalam madzhab Syafi'i bahwasanya tulang dari bangkai dan rambutnya hukumnya adalah najis. Kita akan simpulkan bahwa bangkai secara umum adalah najis berdasarkan firman Allāh Subhānahu wa Ta'ālā :
 
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
Diharamkan atas kalian bangkai (Al-Maidah 3).
Dan disana ada bagian-bagian dari bangkai yang akan kita jelaskan sedikit;
 
Pertama, Kulit bangkai. Ini kita sudah jelaskan bahwasanya:
  • sebelum disamak dia adalah najis
  • setelah disamak dia adalah thāhir (suci) kecuali anjing dan babi.
Kedua, Daging dan gajih bangkai dia adalah najis berdasarkan kesepakatan para ulama (para imam madzhab).
 
Ketiga, Rambut atau bulu bangkai selain anjing dan babi maka menurut pendapat di dalam madzhab Syafi'i adalah najis, sebagaimana pernyataan di atas. Dan madzhab jumhur fuqaha dari Hanabilah dan Hanafiyyah serta Malikiyyah, dia adalah thāhir (suci). Dan ini, Allāhu a'lam, pendapat yang lebih kuat. Dalilnya adalah:
 
Dalil pertama, Firman Allāh Subhānahu wa Ta'ālā:
 
ْوَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثًا وَمَتَاعًا إِلَى حِينٍ
Dan dari bulu domba dan bulu onta dan bulu kambing, itu kalian jadikan sebagai alat-alat rumah tangga (perkakas) dan perhiasan sampai waktu tertentu. (AnNahl 80)
Allāh Subhānahu wa Ta'ālā menjelaskan tentang karunia dari Allāh Subhānahu wa Ta'ālā kepada manusia bahwasanya bulu-bulu hewan tersebut bisa digunakan sebagai alat-alat rumah tangga ataupun perhiasan. Dan ayat ini secara umum menjelaskan tentang bolehnya menggunakan bulu-bulu hewan tersebut, apakah dalam keadaan hidup ataupun dalam keadaan mati.
 
Dalil kedua adalah:
Bahwasanya segala sesuatu adalah boleh dan suci sampai ada dalil yang menunjukkan tentang kenajisannya dan tidak ada dalil khusus menunjukkan kenajisannya.
Dalil yang ke-3, yang dimaksud dengan bangkai yang diharamkan adalah bagian-bagian yang memiliki indra perasa atau bisa bergerak sesuai dengan keinginan atau memiliki kehidupan. Sementara rambut, bulu dan semisalnya dia tidak ada kehidupan di dalamnya atau tidak dapat merasakan maka dia tidaklah najis tetapi suci.
 
Bagian bangkai yang ke-4 yaitu: Tulang, tanduk dan kuku bangkai. Di dalam madzhab Syafi'i dia adalah najis dan ini juga pendapat jumhur fuqaha dari Malikiyyah dan juga dari kalangan Hanabilah.
 
Kelima yaitu bagian tubuh yang tersendiri yang dialiri oleh darah, seperti telinga, hidung, tangan, maka dia adalah najis berdasarkan ijma' para ulama.
 
Keenam, Darah dan nanah dan semisalnya maka itu semua adalah najis dan masuk dalam makna najis itu sendiri. Adapun penjelasan lebih rinci tentang darah maka akan dibahas pada tempatnya in syaa' Allāh Ta'ālā.
Kemudian beliau melanjutkan:
 
إِلّاَ اْلآدَمِى
Kecuali anak Adam/manusia.
Di sini beliau ingin mengecualikan bangkai yang dia disana adalah suci. Karena pada asalnya bangkai adalah najis, dikecualikan:
 
Pertama, maytatul ādamī (ميتة الآدمى), bangkai manusia. Dia adalah suci baik dikalangan muslim ataupun orang-orang kafir, sebagaimana keumuman firman Allāh Subhānahu wa Ta'ālā:
 
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
Dan sungguh telah Kami muliakan anak Adam. (Al-Isra 70)
Di sini konsekuensinya adalah anak Adam (manusia) suci baik hidup ataupun matinya.
 
Kedua, bangkai hewan laut (maytatul bahr, ميتة البحر). Sebagaimana sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tatkala Beliau ditanya tentang air laut. Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:
 
هو الطهور ماؤه ، الحل ميتته
Air laut itu suci (dan mensucikan) airnya serta halal bangkai hewannya.
Ketiga, maytatus samak wal jarād (مَيْتَةُ السَّمَكِ وَالْجَرَادِ), bangkai ikan ataupun bangkai belalang. Ikan disini adalah ikan air tawar, adapun yang laut sudah kita jelaskan pada point sebelumnya. Sebagaimana hadits Ibnu 'Umar, beliau berkata:
 
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ: َالْجَرَادُ وَ السَّمَكُ، وَالْكَبِدُ ، وَالطِّحَالُ
Dihalalkan bagi kami 2 macam bangkai dan 2 macam darah yaitu belalang dan ikan, hati dan limpa.
Keempat, mā lā nafsa lahu sāilah (ما لا نفس له سائلة), hewan yang tidak memiliki aliran darah, seperti lalat, semut, lebah dan semisalnya. Dalilnya adalah sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
 
إذا وقع الذباب في إناء أحدكم فليغمسه فإن في أحد جناحيه داء وفي الآخر شفاء.
Apabila seekor lalat jatuh pada minuman kalian maka celupkanlah kemudian buanglah karena pada salah satu sayapnya ada penyakit dan pada sayap yang lainnya ada obatnya (penawarnya).
Ini menunjukkan bahwasanya hewan yang tidak memiliki aliran darah maka dia adalah suci bangkainya. Demikian yang bisa kita sampaikan.
 
و صلى الله على محمد و على آله و صحبه و سلم
 
Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :

Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Tim Materi Bimbingan Islam

Bias Jumat 8: Pembagian Jenis Air Berdasarkan Penggunaannya Dalam Thaharah (Bagian 4)

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله, أما بعد.
Para sahabat sekalian, kita lanjutkan pada pelajaran berikutnya yaitu pada halaqoh yang ke-8 dari matan Abu Syuja'.
 
قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللّهُ: وماء حلت فيه نجاسة وهو دون القلتين ، أو كان قلتين فتغير ، والقلتان خمسمائة رطل بالعراقي

Pada penjelasan kali ini Beliau menjelaskan jenis air yang ke-4 yaitu air yang najis (air yang tidak suci). Kata beliau :
 
وماء حلت فيه نجاسة
Dan air yang tercampur ke dalamnya benda-benda yang najis.
Yaitu disini dibahas tentang air mutlak yang dia tercampur atau terjatuh ke dalamnya benda-benda najis, baik dia secara langsung ataupun secara tidak langsung.
  • secara langsung, benda tersebut jatuh kedalam air tersebut, atau
  • secara tidak langsung jika dengan melalui peresapan atau perembesan dan lain sebagainya.
Maka hukumnya disini dibedakan didalam Madzhab Syafi'i tentang air tersebut apakah banyak atau sedikitnya. Disebutkan:
  1. Apabila air kurang dari 2 qullah
  2. Apabila air 2 qullah atau lebih.
Dan qullah adalah ukuran volume air yang nanti akan dijelaskan oleh beliau pada akhir pembahasan. Disebutkan yang pertama :
 
وهو دون القُلَّتين
Dan dia air yang kurang dari 2 qullah.
  1. Air yang kurang dari 2 qullah apabila terkena najis maka hukumnya adalah air yang najis walaupun dia tidak berubah baik sifat, warna, bau maupun rasa. Jadi tidak berubah sifatnya. Maka tetap air tersebut adalah air yang najis.
  2. Apabila air tersebut 2 qullah atau lebih.
أو كان قلتين فتغير
Dengan syarat air tersebut berubah.
Jika air tersebut berubah 2 qullah atau lebih dan berubah. Berubah apanya? Berubah sifatnya, baik warna, bau maupun rasanya. Dan disini, 2 qullah atau lebih yang tercampur kedalamnya najis (misalnya bangkai, air kencing atau lainnya) kemudian merubah salah satu sifat air tersebut maka walaupun dia 2 qullah ataupun lebih maka air tersebut menjadi air yang najis. Namun apabila dia tidak berubah salah satu sifatnya maka air tersebut merupakan air yang suci dan mensucikan. Dalilnya adalah sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam :
 
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ
(وَ فِيْ رِوَايَةٍ النَّجَسَ)
Apabila air telah mencapai 2 qullah maka dia tidak mengandung khabats (atau dalam riwayat lain: najis) (Hadits ini hadits shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Imam Tirmidzi).
Di dalam pemahaman hadits ini disebutkan bahwasanya air terbagi menjadi 2 :
  1. apabila lebih dari 2 qullah
  2. apabila kurang dari 2 qullah
Dan apabila kurang dari 2 qullah maka dia terpengaruh dengan adanya najis. Namun apabila air mencapai 2 qullah atau lebih maka dia tidak berpengaruh dengan adanya najis. Ini adalah pendapat dalam madzhab Syafi'i dan juga pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, yang merupakan pendapat jumhur. Namun disana ada pendapat yang lain yang mengatakan bahwasanya:
Selama air tersebut tidak berubah sifatnya baik sedikit maupun banyak maka air tersebut adalah tetap suci dan mensucikan.
Ini pendapat Imam Malik, Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim, yang diperkuat oleh Syaikh 'Abdul 'Azīz bin Baz. Kemudian beliau mengatakan :
 
والقلتان خمسمائة رطل بالعراقي
Dan 2 qullah itu sama dengan 500 rithl 'iraqi.
Qullah disini yang dimaksud oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah qullah dari negeri Hajar. Berkata Imam Syafi'i :
 
رأيت قلال هجر، والقلة تسع قربتين، أو قربتين ونصف
Bahwasanya saya sudah pernah melihat qullah-qullah yang ada dinegeri Hajar dan 1 qullah itu dia bisa untuk memenuhi 2 qirbah atau 2,5 qirbah.
Qirbah adalah kantung-kantung untuk menampung air. 1 qirbah sekitar 100 rithl 'iraqi. Jadi 2 qullah = 5 qirbah = 500 rithl 'iraqi.

Qullah adalah tempat menyimpan air yang terbuat dari batu atau biasa kita sebut sebagai bak air. Ukuran pasti dari qullah sendiri berbeda-beda disebutkan oleh para fuqaha atau para ulama. Ada yang menyatakan dengan ukuran volume yaitu sekitar 60 cm kubik atau sekitar 216 liter. Ada yang disebutkan seperti diatas (500 rithl 'iraqi), dimana 1 rithl = 406,25 gram. Jadi, 500 rithl 'iraqi = 203,125 kg = 203,125 liter. Dalam kitab fiqih muyassar disebutkan bahwa: 1 qullah = 93,075 sha' = 160,5 liter.
 
Oleh karena itu, sebagaimana diperkuat oleh Syaikh 'Utsaimin rahimahullāh bahwasanya yang benar adalah tidak ada ukuran yang standar (pasti) untuk 2 qullah. Dan yang dimaksudkan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam hadits adalah air yang banyak dengan perkiraan 2 qullah yang disebutkan sebagai qullah Hajar (qullah dari negeri Hajar).
 
Demikian yang bisa kita sampaikan.
 
و صلى الله على محمد و على آله و صحبه و سلم
 
Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :

Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Tim Materi Bimbingan Islam

BIAS Jumat 9 : Hukum Kulit Bangkai Yang Disamak

Photo Credit : fauzifabaik.blogspot.com/
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله, أما بعد.

Para sahabat sekalian, kita lanjutkan pada halaqoh yang ke-9 dari pembahasan Matan Abu Syuja' AsySyāfi'iy rahimahullāh.
 
Pada pembahasan yang lalu kita telah menjelaskan tentang pembagian air di dalam madzhab Syāfi'iy, (yaitu):
 
Satu, Air thahūr, yaitu air yang suci dan mensucikan (air mutlak). Contohnya: air hujan, air danau dan lain-lain.
 
Dua, Air yang thahūr makrūh, yaitu air yang suci dan mensucikan namun dia makruh penggunaannya. Contohnya air musyammas. Dan kita telah jelaskan bahwasanya pembagian ini adalah khusus di dalam madzhab Syāfi'iy, namun tidak disepakati oleh jumhur ulama.
 
Tiga, Thāhir (suci) namun tidak dapat digunakan untuk mensucikan. Misalnya: minuman teh, kopi dan lain-lain.
 
Empat, Air najis, yaitu air yang tercampur dengan benda-benda yang najis.
 
Kemudian di sini penulis rahimahullāh akan menyebutkan tentang hukum kulit bangkai yang disamak. Pembahasan tentang kulit setelah pembahasan air (pembagian air) karena kulit pada zaman dahulu itu adalah media yang banyak sekali digunakan untuk menampung air, yaitu dengan membuat kantung-kantung air dari kulit. Oleh karena itu beliau membahas tentang kulit setelah pembahasan tentang air.
 
قال المصنف رحمه الله تعالى: فصل وجلود الميتة تطهر بالدباغ إلا جلد الكلب والخنزير وما تولد منهما أو من أحدهما،
Kata beliau:
Pasal (fashl): Dan kulit-kulit bangkai (bangkai secara umum) yang dia itu menjadi suci dengan cara disamak kecuali kulit anjing dan babi. (Disini beliau ingin menjelaskan bahwasanya beliau memulai dengan pembahasan yang baru. )
Karena anjing dan babi dalam madzhab Syafi'iy najisnya adalah najis 'ayni/najis secara zatnya, baik semasa hidup apalagi terlebih setelah menjadi bangkai.
Dan apa saja yang lahir dari keduanya (peranakan dari keduanya) atau salah satunya.
Jadi, misal induk jantannya adalah anjing, induk betinanya hewan lain, misalnya kambing maka peranakannya mengikuti hukum dari hukum anjing tadi.
 
Para sahabat sekalian yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'ālā, hewan sebagaimana yang kita ketahui ada :
 
Satu, Hewan yang hidup di laut (hewan laut). Hewan laut seluruhnya suci dan bangkainya pun suci dan halal untuk dimakan.
 
Dua, Hewan yang hidup di darat (hewan darat). Adapun hewan darat, disana ada:
  • Hewan yang diperbolehkan dimakan dagingnya. Seperti: sapi, kambing dan lain sebagainya. Apabila disembelih dengan aturan dan cara yang syar'i maka dagingnya adalah halal dan yang disembelih tersebut adalah suci. Namun apabila hewan tersebut tidak disembelih dengan cara yang syar'i atau mati sendiri, baik disengaja atau tidak disengaja maka hukumnya menjadi hukum bangkai dan dia menjadi najis.
  • Hewan yang tidak diperbolehkan untuk dimakan dagingnya. Seperti: harimau, keledai yang jinak dan seterusnya. Selama hewan tersebut masih hidup maka dia adalah thāhir (suci) walaupun tidak boleh dimakan dagingnya. Apabila dia mati, baik dengan cara disembelih ataupun mati sendiri maka hukumnya menjadi hukum bangkai. Oleh karena itu, seluruh bangkai adalah najis dan haram dimakan bangkainya kecuali ikan dan belalang.
Mengenai bagian-bagian bangkai kita akan bahas, diantaranya tentang :
 
Satu, Daging bangkai. Hukum daging bangkai adalah najis dan haram dimakan berdasarkan ijma' para ulama.
 
Dua, Kulit bangkai. Kulit bangkai yang belum disamak maka hukumnya adalah najis sebagaimana yang disepakati oleh para Imam Madzhab yang empat, bersepakat bahwasanya hukumnya adalah najis. Kemudian, kulit bangkai yang telah disamak, disana ada beberapa pendapat para ulama namun yang paling kuat adalah 2 pendapat:

Pendapat Pertama

Bahwasanya kulit bangkai menjadi suci setelah disamak kecuali kulit anjing dan babi. Jadi ini semua kulit bangkai, apapun. Ini adalah pendapat madzhab Syafi'iy sebagaimana yang telah kita bacakan dia atas dan juga pendapatnya Hanafiyah, akan tetapi berbeda dalam masalah kulit anjing. Dan juga ini adalah pendapat sebagian para shahabat. Dalilnya:
Satu, Hadits Ibnu 'Abbas radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, beliau berkata bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda :
 
إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ؛ فَقَدْ طَهُرَ
Apabila kulit-kulit itu telah disamak maka dia telah menjadi suci (HR. Muslim).
Dua, kemudian sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam yang lain manakala Beliau melihat kambing yang ditarik oleh para shahabat. Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda :
 
لو أخذتم إهابها فقالوا : إنها ميتة ، فقال : يطهرها الماء والقرظ
Jikalah kalian mengambil kulitnya. Kemudian para shahabat berkata: "Sesungguhnya hewan tersebut adalah bangkai." Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: "Air dan daun qarazh itu akan membersihkan (kulit dari bangkai tersebut)". (HR. Abu Daud dengan sanad yang hasan).
Para sahabat sekalian yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'ālā, alqarazh adalah dia bentuknya daun yang kasar yang banyak digunakan untuk proses samak.

Pendapat Kedua

Bahwasanya proses samak, dia hanyalah mensucikan kulit bangkai hewan-hewan yang diperbolehkan dimakan dagingnya seperti sapi, kambing dan lain sebagainya. Adapun hewan yang tidak boleh dimakan maka tetap hukumnya-walaupun sudah disamak-maka hukumnya najis. Ini adalah pendapat jumhur dari Malikiyyah, Hanabilah dan lain-lain, juga pendapat Ibnu Taimiyyah, Syaikh Bin Baz rahimahullāh, Syaikh 'Utsaimin dengan dalil hadits di atas yaitu bangkai (yang dimaksud disitu adalah bangkai kambing). Oleh karena itu mereka mengkhususkan bangkai yang diperbolehkan atau menjadi suci itu adalah bangkai dari hewan yang boleh dimakan dagingnya.

Samak (Ad-Dibagh)

Kemudian kita akan sedikit membahas tentang samak (addibāgh). Disini, samak adalah sebuah proses mensucikan/membersihkan kulit.
Oleh karena itu kata Al-Khātib Syarbini dalam kitab Mughnil Muhtāj, beliau mengatakan bahwasanya dibāgh itu adalah :
 
نزع فضول الجلد وهي مائيته ورطوباته التي يفسده بقاؤها
Yaitu menghilangkan kotoran-kotoran yang ada pada kulit (baik itu lemaknya, darahnya dan lain-lain) yang cairnya ataupun yang lembab/basahnya, yang mana kalau ada maka kulit tersebut akan menjadi rusak.
Jadi, proses samak adalah proses penghilangan kotoran-kotoran yang ada pada kulit dengan menambahkan zat-zat tertentu, apakah zat itu nabati, hewani ataupun zat yang sekarang dipakai (zat kimia) yang bisa menghilangkan kotoran dari kulit baik darahnya, lemaknya dan lain sebagainya.
 
Jadi, salah satu ciri bahwasanya proses penyamakannya adalah bagus apabila kulit tersebut ditaruh didalam air maka dia tidak akan berbau dan tidak akan menjadi busuk. Ini adalah contoh kulit yang baik.
 
Dan tidak cukup pengeringan kulit tersebut hanya dengan ditaruh di bawah sinar matahari, tapi harus dengan proses dan tahapan-tahapan yang dikenal dalam proses penyamakan. Sehingga kulit tersebut menjadi suci setelah disamak, kemudian dicuci maka kulit tersebut menjadi suci.
 
Demikian.
 
و صلى الله على محمد و على آله و صحبه و سلم
Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :

Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Tim Materi Bimbingan Islam