Bias 18 : Adab Makan (Makan dan Minum Dengan Tangan Kanan)

َ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ (أخرجه مسلم
Dari Ibnu 'Umar radhiyallāhu 'anhumā bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda :
Jika salah seseorang di antara kalian makan, maka hendaknya dia makan dengan tangan kanannya dan jika minum maka hendaknya juga minum dengan tangan kanannya. Karena sesungguhnya syaithan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya pula." (HR. Muslim)
Para ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'ālā, sebagian ulama berpendapat bahwasannya makan dan minum dengan tangan kanan hukumnya hanya sekedar sunnah, tidak sampai pada derajat wajib karena ini berkaitan dengan masalah adab dan pengarahan.
 
Namun pendapat yang benar adalah bahwasanya makan dan minum dengan tangan kanan hukumnya adalah WAJIB, bukan sekedar sunnah. Karena banyak dalil yang menunjukkan hal ini. Di antara dalilnya adalah :
 
Pertama, dalil yang kuat adalah hadits ini, yaitu makan dan minum dengan tangan kanan dalam rangka untuk menyelisihi syaithan yang makan dan minum dengan tangan kiri. Dan Allāh Subhānahu wa Ta'ālā memerintahkan kita untuk menyelisihi syaithan dan kita wajib untuk menyelisihi syaithan. Kata Allāh Subhānahu wa Ta'ālā:
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. (QS An Nuur: 21)
Karena sifat syaithan makan dan minum dengan menggunakan tangan kiri, maka kita diperintahkan untuk menyelisihinya. Ini juga berkenaan dengan beriman dengan yang ghaib yaitu tentang syaithan. Syaithan tidak dapat kita lihat akan tetapi kita meyakini bahwa syaithan juga makan dan minum dengan menggunakan tangan kiri.
 
Di antara dalil yang menguatkan bahwa syaithan makan dan minum adalah bahwasanya dalam beberapa hadist Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam yang menyebutkan tentang dampak dari makan dan minumnya syaithon yaitu buang air. Dalam hadits disebutkan, ada seseorang di sisi Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan :
 
مَا زَالَ نَائِمًا حَتَّى أَصْبَحَ، مَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ، فَقَالَ‏:‏ بَالَ الشَّيْطَانُ فِي أُذُنِهِ‏.
Bahwasanya orang tersebut ketiduran sampai pagi hari dan tidak bangun untuk shalat shubuh.
Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan bahwa syaithan telah kencing di telinga orang tersebut ini sehingga tertidur pulas dan tidak mendengar adzan shubuh (HR. Bukhari)
 
Dalam hadits yang lain Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan bahwa syaithan buang angin. Disebutkan bahwasanya tatkala orang hendak shalat maka syaithan akan mengganggu. Kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:
 
إِذَا نُودِيَ بِالصَّلاةِ ، أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ
Jika dikumandangkan adzan untuk shalat maka syaithon pun lari dan dia memiliki kentut dan buang angin.
Ini juga menunjukkan bahwa syaithan makan dan minum kemudian buang air dan juga buang angin. Kita beriman akan hal yang ghaib ini.
 
Jadi yang menunjukkan bahwa makan dan minum dengan tangan kanan adalah hukumnya WAJIB adalah karena kita diperintahkan untuk menyelisihi syaithan yang makan dan minum dengan tangan kiri.
 
Kedua, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkannya secara mutlak. Contohnya ketika Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkan :
 
يَا غُلامُ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ
Wahai anak muda, makanlah dengan tangan kananmu.
Ketiga, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah mendoakan keburukan bagi orang yang makan dengan tangan kiri.
 
أن رجلا أكل عند رسول الله صلى الله علية وسلم بشماله . فقال : " كل بيمينك " قال : لا أستطيع . قال : " لا استطعت " ما منعه إلا الكبر . قال : فما رفعها إلى فيه .
Dalam hadits Salamah bin Al Akwa radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, ada seorang yang makan di sisi Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dengan tangan kiri, maka beliau mengatakan :
Makanlah dengan tangan kananmu.
Kata orang tersebut:
Saya tidak bisa makan dengan tangan kanan.
Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mendoakan keburukan bagi orang ini, beliau mengatakan:
Engkau tidak akan mampu, sesungguhnya tidak menghalanginya kecuali karena kesombongan.
Maka orang ini pun tidak mampu mengangkat tangan kanannya untuk makan setelah itu, dia selalu menggunakan tangan kirinya.
Kenapa? Karena dia tidak mau menggunakan tangan kanan dan karena dido'akan keburukan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Kalau perkara makan dengan tangan kanan hanyalah sunnah, tidak wajib, maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak akan mendo'akan keburukan bagi orang ini.
 
Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'ālā, di antara perkara yang perlu kita perhatikan adalah bahwa yang merupakan perkara ta'abbud (ibadah) adalah makan dan minum dengan tangan kanan. Adapun menggunakan sendok atau sumpit untuk makan maka ini merupakan perkara adat istiadat. Yang penting, tatkala kita menggunakan sumpit atau sendok tersebut kita menggunakannya dengan tangan kanan.
 
Perkara yang perlu saya ingatkan juga adalah:
 
Pertama, mengenai minum dengan tangan kiri. Kebiasaan sebagian orang tatkala sedang makan kemudian merasa tangan kanannya kotor maka dia pun memegang gelas dengan tangan kiri kemudian minum dengan tangan kiri tersebut. Ini merupakan perkara yang diharamkan (tidak boleh), meskipun tangannya kotor harus memegang gelas tersebut dengan tangan kanan, nanti toh gelas tersebut akan dicuci juga. Sehingga, jangan gara-gara takut gelasnya kotor maka kemudian minum dengan tangan kiri karena ini mengikuti cara syaithan.
 
Kedua, demikian juga jika seseorang makan dengan menggunakan dua tangan misalnya, tangan kanannya memegang sendok dan tangan kirinya memegang garpu. Maka ingatlah, tangan kiri hanya sekedar untuk membantu tapi tatkala mengangkat makanan hendaknya dengan tangan kanan. Jangan sampai karena menggunakan garpu dengan tangan kirinya, kemudian dia makan dengan tangan kirinya juga, inipun diharamkan oleh para ulama karena mengikuti syaithan.
 
Demikianlah apa yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini
 
وبالله التوفيق والهداية
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 

Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :


Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Tim Materi Bimbingan Islam

Bias 17 : Adab Berpakaian (Hukum Isbal)

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
 
Dari Ibnu 'Umar radhiyallāhu Ta'ālā 'anhumā beliau berkata: Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
 
َلَا يَنْظُرُ اَللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ 
Allāh tidak akan memandang orang yang menggeretkan (menjulurkan pakaiannya hingga terseret) pakaiannya karena sombong (Muttafaqun 'alaih, HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Lafazh Tsaub atau pakaian pada "مَنْ جَرَّثَوْبَهُ " (orang yang menggeret/menjulurkan sehingga terseret pakaiannya) bermakna umum. Yaitu kullu mā yulbas yang artinya "setiap yang dipakai", mencakup: sarung, celana, jubah atau pakaian apa saja. Semuanya dilarang untuk dipakai jika panjang dan tergeret/terseret di atas tanah yang dilakukan karena sombong. Orang yang melakukan demikian tidak akan dilihat oleh Allah.
 
Dalam riwayat disebutkan yaumal qiyāmah (pada hari kiamat), sehingga artinya:
Allāh tidak akan melihat dia dengan pandangan rahmat (kasih sayang) ada hari kiamat.
Padahal kita tahu pada hari kiamat, hari yang sangat dahsyat dan mengerikan, seseorang sangat butuh dengan kasih sayang (rahmat) Allāh Subhānahu wa Ta'ālā. Orang yang isbal karena sombong akan tidak diperdulikan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'ālā. Ini dalil bahwasanya isbal karena sombong merupakan dosa besar. Para ulama bersepakat tentang keharamannya jika isbal dilakukan karena sombong. Adapun jika isbal dilakukan dengan niat tidak karena sombong, hanya sekedar ikut gaya berpakaian maka ada khilaf di antara para ulama.
 
Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwasanya isbal yang dilakukan tidak karena sombong maka hukumnya makruh, tidak sampai derajat haram. Karena pengharaman isbal oleh Allāh Subhānahu wa Ta'ālā adalah karena ada 'illah (sebab) nya, yaitu kesombongan. Jika ternyata kesombongan tersebut tidak menyertai hati orang yang melakukan isbal maka hukumnya hanya sampai kepada derajat makruh, tidak sampai pada derajat haram. Dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama Syafi'iyyah seperti Imam Syafi'i, Imam Nawawi dan yang lainnya.
 
Adapun sebagian ulama memandang bahwasanya isbal meskipun tidak karena sombong maka hukumnya haram secara mutlak. Dan ini merupakan pendapat madzhab Hanbali dan juga dipilih oleh Al Qadhi'iyyat dan Ibnul 'Arabi dari madzhab Malikiyyah dan juga pendapat Al Hafizh Ibnu Hajar dari madzhab Syafi'iyyah. Dan ini juga pendapat yang dipilih oleh ulama sekarang seperti Syaikh Al Albani, Syaikh Abdul 'Aziz Bin Baz dan Syaikh Shalih Al-'Utsaimin rahimahumullāhu Ta'ālā. Kalau kita melihat secara dalil, maka dalil-dalil yang mengatakan isbal adalah haram secara mutlak adalah lebih kuat.
 
Diantara dalilnya adalah:
 
Pertama, hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:
 
فَإِنَّ وَإِسْبَالَ الإِزَارِ مِنَ الْمَخِيلَةِ

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan Imam Ahmad dengan sanad yang hasan.
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan bahwa sesungguhnya isbal adalah termasuk dari kesombongan.
Jadi isbal itu sendiri sudah termasuk kesombongan berdasarkan perkataan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.
 
Kedua, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tatkala menegur sebagian sahabat untuk tidak isbal, untuk mengangkat sarung mereka di atas mata kaki, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak pernah bertanya kepada mereka terlebih dahulu apakah sahabat melakukannya karena sombong atau tidak. Misalkan, "Kalau kau melakukannya karena sombong maka angkat, kalau tidak karena sombong maka tidak usah angkat." Siapa saja ditegur oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.
 
Ketiga, kisah 'Umar radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu ketika akan meninggal dunia. Tatkala akan meninggal dunia datang seorang pemuda yang memuji 'Umar bin Khattab radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, setelah lelaki tersebut memuji 'Umar kemudian pergi dan dipanggil lagi oleh 'Umar. Kemudian 'Umar berkata:
 
ارْفَعْ ثَوْبِكَ فَإِنَّهُ أَتْقَى لِرَبِّكَ
Angkatlah pakaianmu, sesungguhnya (jika engkau tidak isbal) maka itu lebih bertaqwa kepada Rabbmu dan lebih bersih bagi pakaianmu.
Lihat perkataan 'Umar radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu dan 'Umar tidak bertanya, "Engkau melakukannya sombong atau tidak?" Akan tetapi langsung diperintahkan untuk mengangkat pakaiannya oleh 'Umar bin Khattab radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu.
 
Keempat, kemudian di antara dalil bahwasanya isbal haram secara mutlak yaitu tatkala Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan
 
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ 
Seluruh pakaian yang berada dibawah mata kaki maka di neraka Jahannam (HR. Bukhari No.5787)
Hadits ini dipandang keumumannya bahkan oleh Ummu Salamah radhiyallāhu Ta'ālā 'anhā (istri Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam).
 
Tatkala mendengar hadits ini, mereka khawatir kalau wanita terkena juga ancaman ini. Padahal kita tahu bahwa para wanita tatkala mereka isbal sama sekali bukan karena sombong tetapi karena dalam rangka untuk tertutup aurat mereka, namun mereka khawatir terkena ancaman hadits ini (setiap yang dibawah mata kaki dineraka Jahannam).
 
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ؟ قَالَ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُرْخِيْنَ شِبْرًا. فَقَالَتْ: إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ. قَالَ: فَيُرْخِيْنَهُ ذِرَاعًا لا يَزِدْنَ عَلَيْهِ
Maka Ummu Salamah pun menanyakan hal ini kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam sehingga Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengizinkan dengan mengatakan: "Hendaknya mereka menjulurkan rok mereka sehingga dengan panjang 1 jengkal." Maka Ummu Salamah masih berkata lagi: "Kalau begitu nanti kaki-kaki mereka akan tersingkap." Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengizinkan dia menambah. Kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam: "Tambah lagi, julurkanlah sehingga dengan jarak sehasta." (HR. At-Tirmidzi no. 1731, kitab Al-Libas, bab Ma Ja'a fi Jarri Dzuyulin Nisa', diriwayatkan pula oleh selain Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi)
Ini menunjukkan bagaimana semangatnya para wanita agar kaki-kaki mereka tidak tersingkap sehingga rok mereka dipanjangkan tergeret ditanah dengan panjang sehasta dan tidak boleh lebih lagi daripada ini. Ini adalah dalil bahwasanya Ummu Salamah memandang isbal haram secara mutlak bahkan mencakup para wanita untuk isbal. Namun datang dalil dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yang mengecualikan para wanita.
 
Kalau memang isbal diharamkannya hanya karena sombong maka para wanita tidak perlu untuk khawatir masuk dalam ancaman tersebut, karena mereka memanjangkan rok mereka bukan karena sombong tapi karena agar tertutup aurat mereka. Kemudian, para ulama yang menyatakan bahwasanya isbal adalah haram secara mutlak, baik sombong atau tidak sombong, menyebutkan hikmahnya dilarang isbal:
  1. Bahwa ini adalah sikap berlebih-lebihan (israf), seseorang tidak perlu pakai pakaian berlebihan apalagi sampai panjang sampai menjulur ke tanah.
  2. Bisa menyebabkan kotoran mengenai bajunya bisa juga ada kotoran yang lengket pada pakaiannya.
  3. Yang berikutnya adalah ini termasuk pemandangan yang menarik perhatian, orang memakai pakaian kemudian pakaiannya terjulur di tanah maka ini semua diharamkan.
Intinya para ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'ālā, isbal jika dilakukan karena sombong merupakan dosa besar dan ancamannya berat. Namun jika dilakukan tidak karena sombong maka dia lebih ringan dosanya dan ancamannya pun lebih ringan akan tetapi isbal haram secara mutlak. Dan para ulama tentunya sepakat bahwasanya di antara sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah memakai pakaian di atas mata kaki baik sarung, celana atau jubah bagi kaum lelaki.

والله تعالى أعلم بالصواب
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 

Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :

Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Tim Materi Bimbingan Islam

BIAS 16 : Adab-Adab Memakai Sandal Bagian Dua

 
Photo Credit : motivasi-nellayayu.blogspot.com
بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله 

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'ālā, kita masuk pada halaqoh yang ke-16 masih berkaitan dengan adab memakai sandal dari Kitābul Jāmi' Babul Adab. Al-Hāfizh Ibnu Hajar rahimahullāh membawakan hadits dari 'Ali radhiallāhu Ta'ālā 'anhu, beliau berkata: 

َوَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : لَا يَمْشِ أَحَدُكُمْ فِي نَعْلٍ وَاحِدَةٍ, وَلْيُنْعِلْهُمَا جَمِيعًا, أَوْ لِيَخْلَعْهُمَا جَمِيعًا (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِمَا)
Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Janganlah salah seorang dari kalian berjalan memakai satu sandal saja, tetapi hendaknya memakai sendal kedua-duanya atau melepaskannya kedua-duanya' (HR Imam Bukahri dan Muslim).
Hadits ini menjelaskan kepada kita akan larangan memakai satu sandal. Hendaknya kita memakai dua-duanya atau melepas dua-duanya. Karena disebutkan dalam hadist Rasuluhlah shallallahu 'alaihi wassallam terkadang berjalan dengan tanpa memakai alas kaki. Ini menunjukkan bahwa sesekali boleh kita berjalan tanpa menggunakan alas kaki sama sekali. 

Adapun 'illah (sebab) kenapa kita dilarang memakai satu sandal saja, maka ada beberapa pendapat dikalangan ulama: 

Pertama, ada yang mengatakan bahwasannya kita dituntut untuk berbuat adil dalam segala hal termasuk berbuat adil pada anggota tubuh kita. Sehingga kita tidak boleh memakai sandal hanya pada satu kaki, karena berarti kita tidak adil pada kaki yang satunya lagi. 

Kedua, ada yang mengatakan jika memakai satu sandal saja maka yang satunya dikhawatirkan akan terkena gangguan, seperti terinjak paku atau terkena duri. 

Ketiga, ada juga yang mengatakan bahwa 'illah (sebab)nya karena berjalan dengan satu sandal akan menarik perhatian, sedangkan kita dianjurkan untuk menjauhi syuhrah, yaitu sesuatu yang bisa menarik perhatian dan menimbulkan ketenaran. 

Kalau ketenaran yang disebabkan dengan memakai baju yang bagus yang tampil beda dibandingkan yang lain yang menarik perhatian (libāsusy syuhrah) saja kita dilarang apalagi yang disebabkan dengan hal yang aneh-aneh, seperti kita berjalan dengan satu sandal. Dan bisa-bisa kita dituduh dengan tuduhan yang tidak-tidak, misalnya orang gila atau orang stress, maka hal ini dilarang oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam

Islam menjaga adab, Islam menjaga kemuliaan seorang manusia. 

Keempat, sebagian ulama juga mengatakan bahwa diantara 'illah (sebab)nya karena hal ini meniru syaithan. Dalam hadits yang shahih Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berkata: 

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَمْشِي بِالنَّعْلِ اْلوَاحِدَة.
Sesungguhnya syaithon berjalan dengan satu sandal saja.
Sebagaimana hal ini diriwayatkan oleh Imam Thahawi dalam Syarah Musykil Atsar dan disebutkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullāh dalam Silsilah Al Hadits Ash Shahihah hadits no. 348. Kita harus beriman dengan hal ini, bahwasannya syaithan juga memakai sandal dan berjalan dengan satu sandal. 

Sebagaimana dalam hadits yang lain yang menyebutkan bahwa syaithan:
  1. Makan dengan tangan kiri
  2. Minum dengan tangan kiri
  3. Memberi dengan tangan kiri
  4. Menerima dengan tangan kiri
Dan kita diperintahkan untuk menyelisihi syaithan. 

Kalau kita tahu bahwa syaithan berjalan dengan 1 sandal maka larangan untuk berjalan dengan satu sandal semakin keras. Ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama terhadap hukum berjalan dengan satu sandal saja, apakah hukumnya haram atau hanya sampai pada derajat makruh saja. Zhahir hadits ini menunjukkan hukumnya haram, tidak boleh seseorang berjalan dengan satu sandal saja (tapi pakai keduanya atau lepaskan keduanya). Akan tetapi banyak ulama yang menjelaskan bahwa hukumnya tidak sampai pada derajat haram tetapi hanya makruh. 

Sebagian ulama menukil dari ijma' para ulama, seperti Imam Nawawi rahimahullāh Ta'ālā yang mengatakan bahwa ijma' ulama mengatakan hukumnya makruh, demikian juga dengan ulama yang lain. Dikatakan makruh dan tidak haram karena menurut mereka, di antaranya Imam Nawawi, bahwa ini adalah masalah adab dan pengarahan saja. Dan segala permasalahan yang berkenaan dengan adab dan pengarahan tidak sampai haram tapi hanya sampai pada derajat makruh. 

Adapun Ibnu Hazm Azh-Zhāhiri menyatakan bahwa hukumnya haram. Wallāhu A'lam bish shawāb, apakah hukumnya haram atau makruh, akan tetapi kita hanya berusaha menjalankan sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, maka kita tidak berjalan dengan menggunakan satu sandal, kita pakai dua-duanya atau kita lepas dua-duanya. Semua penjelasan di atas dalam kondisi jika kita sedang berjalan. 

Bagaimana jika dalam kondisi tidak berjalan? Misalnya sedang duduk kemudian memakai sandal yang kanan dulu kemudian yang kiri. Ini tidak masalah karena yang dilarang adalah ketika sedang berjalan. Adapun misalnya kita sedang berdiri dengan satu sandal sementara kaki yang satu lagi belum sempat kita pakaikan sandal/sepatu, maka inipun insyā' Allāh tidak mengapa karena larangan dalam hadits Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam berkaitan dengan seseorang yang sedang berjalan. 

Wallahu Ta'ala a'lam bish shawaab.
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :


Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Transkrip oleh Tim Materi Bimbingan Islam

BIAS 15 : Adab-Adab Memakai Sandal

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Photo Credit : blogspot.com
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullāh membawakan hadits dari 'Ali radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, 

َوَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
إِذَا اِنْتَعَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِالْيَمِينِ, وَإِذَا نَزَعَ فَلْيَبْدَأْ بِالشِّمَالِ, وَلْتَكُنْ اَلْيُمْنَى أَوَّلَهُمَا تُنْعَلُ, وَآخِرَهُمَا تُنْزَعُ

Beliau berkata:
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda, 'Jika salah seorang dari kalian menggunakan sendal maka dia mulailah dengan menggunakan sandal bagian kanan, jika dia melepaskan sandalnya maka hendaknya dia mulai dengan melepaskan sandal yang kiri. Maka jadikanlah yang kanan yang pertama kali dipakai dan jadikanlah yang kanan pula yang terakhir dilepas' (Muttafaqun Alaihi).
Hadits ini adalah hadits yang shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya, diriwayatkan juga oleh Imam Malik dan Abu Daud. 

Hadits ini merupakan salah satu dari kaidah umum yang disebutkan oleh para ulama yaitu bahwasanya merupakan sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:
Mendahulukan yang kanan dalam perkara-perkara yang baik dan menggunakan yang kiri dalam perkara-perkara yang buruk.
Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh 'Aisyah radhiyallāhu Ta'ālā 'anhā dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim), beliau berkata: 

كان النبي صلى الله عليه وسلم يعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ في تَنَعُّلِهِ وَتَرجُّلِهِ و طُهُورِه وفي شَأْنِهِ كُلِّهِ (متفق عليه)
Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam suka menggunakan (mendahulukan) yang kanan dalam memakai sandal, menyisir rambut, bersuci dan dalam segala perkara.
Ini dalil bahwasanya untuk segala perkara yang baik maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menganjurkan kita untuk mendahulukan yang kanan. Contohnya:
  • bersisir
  • memakai sandal
  • memakai baju
  • makan dan minum menggunakan tangan kanan
  • mengambil perkara-perkara yang baik menggunakan tangan kanan
Bahkan, disebutkan bahwa Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tatkala bertahallul, yang beliau cukur adalah bagian kepala yang kanan terlebih dahulu baru kemudian kiri. Adapun dalam perkara-perkara yang buruk maka kita mendahulukan atau menggunakan yang kiri. Contoh:
  • bersuci dari kotoran dengan menggunakan tangan kiri.
  • mengambil barang-barang yang kotor, maka kita menggunakan tangan kiri.
  • masuk ke dalam WC mendahulukan kaki kiri.
Berbeda ketika kita masuk ke masjid yang mendahulukan kaki yang kanan. Dan demikianlah sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Di antara sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dalam praktek mendahulukan yang kanan dalam perkara yang baik dan menggunakan yang kiri dalam perkara yang buruk adalah adab menggunakan sandal.
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:
Jika salah seorang dari kalian memakai sandal maka dahulukan yang kanan. Kalau dia melepaskan sandal maka hendaknya dia mendahulukan yang kiri.
Kenapa bisa demikian? Karena menggunakan sandal merupakan perkara yang baik, merupakan karomah, perbuatan yang mulia yaitu menjaga kaki dari kotoran dan dari hal-hal yang bisa mengganggu. Sedangkan melepaskan sandal adalah perkara yang kurang baik, karena kita menghilangkan penjagaan terhadap kaki. Demikianlah sunnahnya. 

Para ikhwan dan akhwat yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'ālā. Ini (memakai dan melepas sandal) adalah perkara yang kita lakukan setiap hari. Bisa saja kita cuek atau tidak cuek dalam menggunakan sandal dalam kehidupan kita sehari-hari. Akan tetapi, kenapa kita tidak ingin mendapatkan pahala? 

Caranya adalah tatkala memakai sandal kita niatkan menggunakan kaki kanan terlebih dahulu, mengingat akan sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, maka otomatis Allāh berikan pahala. Kemudian, tatkala kita ingin melepas sendal, kita niatkan kaki kiri terlebih dahulu karena teringat sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Kebiasaan kebanyakan orang, kalau memakai sandal mendahulukan kaki kanan dan melepaskan juga yang kanan dahulu. Ini kurang sempurna sunnahnya. 

Sunnahnya adalah mendahulukan yang kanan ketika memakai dan mendahulukan yang kiri ketika melepas. Jika kita biasakan demikian maka pahala terus mengalir dan tentunya ini yang lebih nikmat dan lebih baik. 

Kemudian diakhir pembahasan saya ingatkan bahwasanya para ulama telah ijma' bahwa menggunakan sandal dengan mendahulukan kaki kanan hanyalah sunnah, tidak sampai derajat wajib. Akan tetapi merupakan perkara yang tercela jika seseorang sengaja menggunakan sandal dengan kaki kiri terlebih dahulu. Walaupun tidak dikatakan berdosa, akan tapi hanya menyelisihi sunnah dan merupakan perbuatan buruk. 

والله تعالى أعلم بالصواب.
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته.

Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :


Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Transkrip oleh Tim Materi Bimbingan Islam

BIAS 13 : Adab-Adab Minum

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah membawakan sebuah hadits. Beliau berkata, dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
Janganlah sekali-sekali seorang dari kalian minum dalam kondisi berdiri (HR. Muslim).
Faedah dari hadits ini menunjukkan bahwasannya dilarang seseorang minum dalam kondisi berdiri, karena dalam kaidah ushul fiqih disebutkan :
 
الأصل في النهي التحريم
" Al ashlu fi nahyi attahrim"
Hukum asal dalam larangan adalah pengharaman
Oleh karenanya sebagian ulama seperti ulama zhahiriyyah, mereka mengambil zhahir hadits ini. Mereka mengatakan bahwasannya minum dalam kondisi berdiri hukumnya haram. Artinya, jika seseorang minum dalam kondisi berdiri maka dia berdosa.
 
Sementara jumhur ulama, mayoritas ulama (kalau kita katakan jumhur artinya mayoritas), kebanyakan ulama membawakan hadits ini pada makna "tidak utama". Artinya, janganlah salah seorang dari kalian minum dalam kondisi berdiri karena itu tidak utama, yang utama adalah minum dalam kondisi duduk, akan tetapi boleh minum dalam kondisi berdiri.
 
Mayoritas ulama, tatkala berpendapat demikian, mereka tidak memandang haramnya minum dalam kondisi berdiri. Mereka hanya memandang ini adalah tidak utama. Kenapa? Karena ada dalil lain yang menunjukkan bolehnya minum sambil berdiri. Contohnya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan juga Muslim, dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, beliau berkata:
Aku memberikan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam air minum dari zam-zam, maka beliaupun meminum air zam-zam tersebut dalam kondisi berdiri
Kemudian, hadits yang lain yang juga dalam Shahih Bukhari, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu, beliau diberikan air kemudian beliau minum sambil berdiri tatkala beliau berada di Kufa, beliau berkata:
Sesungguhnya orang-orang tidak suka jika salah seorang dari mereka minum dalam kondisi bediri, sementara aku pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melakukan seperti apa yang kalian lihat aku melakukannya, (artinya) aku pernah melihat Nabi minum dalam keadaan berdiri sebagaimana sekarang kalian melihat aku minum sambil berdiri.
Ini dijadikan dalil oleh jumhur ulama bahwasannya minum dalam kondisi berdiri hukumnya adalah boleh terutama jika ada kebutuhan. Ada khilaf di antara para ulama tentang bagaimana mengkompromikan dua model hadits ini. Ada hadits yang menunjukkan larangan, yaitu Nabi shallallahu'alaihi wasallam melarang minum sambil berdiri dan ada hadits-hadits yang menunjukkan Nabi shallallahu'alaihi wasallam pernah minum sambil berdiri bahkan dipraktekkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu.
 
Pendapat yang pertama mengambil cara "nasikh" dan "mansukh". Bahwa larangan-larangan terhadap minum sambil berdiri itu datangnya terakhir sehingga me-mansukh hadits-hadits yang membolehkan minum sambil berdiri. Namun pendapat ini tidak kuat , karena Ali bin Abi Thalib menyampaikan atau mempraktekkan minum sambil berdiri tatkala beliau di Kufa, yaitu di masa Khulafaurasyidin, setelah wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
 
Ini menunjukkan bahwasannya Ali bin Abi Thalib memahami hukum tersebut tidak mansukh. Demikian juga, ada yang berpendapat sebaliknya, justru hadits-hadits yang melarang minum berdiri dimansukh oleh hadits-hadits yang membolehkan. Dua pendapat ini tidak kuat karena masalah "nasikh" dan "mansukh" butuh dalil yang lebih kuat lagi yang menunjukkan mana yang lebih dahulu mana yang terakhir.
 
Dan tidak ada dalil yang menunjukkan akan hal ini semua. Sebagian ulama juga berpendapat, bahwa bolehnya minum sambil berdiri hanyalah kekhususan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kita sebagai umat tidak boleh minum sambil berdiri. Karena waktu beliau shallallahu 'alaihi wasallam melarang minum sambil berdiri beliau berbicara dengan ucapan, adapun tatkala beliau minum berdiri adalah praktek bukan ucapan. Sehingga bolehnya minum sambil berdiri adalah kekhususan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
 
Ini juga dibantah oleh para ulama, kalau itu merupakan kekhususan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kenapa dipraktekkan oleh Ali bin Abi Thalib. Intinya, pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama yang mengkompromikan atau menggabungkan dua model hadits ini.
 
Yaitu hadits yang melarang minum sambil berdiri itu dibawa kepada "khilaful aula" yaitu, bahwasannya lebih utama untuk tidak minum sambil berdiri, namun boleh sambil berdiri berdasarkan dalil-dalil yang membolehkan. Terutama jika ada hajat atau kebutuhan. Mungkin lagi ada keperluan sehingga perlu berjalan sambil minum atau berdiri untuk minum, maka ini tidak mengapa.
 
Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Alloh Subhanu wa Ta'ala, kita simpulkan pembahasan kita kali ini, bahwa SUNNAHNYA hendaknya minum dalam keadaan duduk dan akan mendapatkan ganjaran dari Alloh Subhanu wa Ta'ala. Namun, jika dia ada keperluan maka boleh minum dalam keadaan berdiri . Al Hafizh Ibnu Hajar pernah berkata:
Jika engkau hendak minum maka minumlah dalam keadaan duduk maka engkau akan mendapatkan pahala sunnahnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, pemimpin ahlul Hijaz.
Para ulama membenarkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah minum dalam kedaan berdiri, akan tetapi beliau berdiri tsb untuk menjelaskan akan bolehnya minum sambil berdiri. Jadi kita umat Islam, kalau ingin mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, asalnya kita minum dalam keadaan duduk, namun jika ada keperluam, boleh kita minum sambil berdiri, sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :


Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Transkrip oleh Tim Materi Bimbingan Islam

Bias 13 : Adab-Adab Bersin

Photo Credit : albetaqa.com
Alhamdulillaah washshalaatu wassalaamu 'alaa Rasuulillaah.
 
Para ikhwan dan akhwat, kita masuk pada halaqoh yang ke-13. Dari Nabi صلّى اللّه عليه وسلّم bersabda:
 
إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ: اَلْحَمْدُ الله, وَلْيَقُلْ لَهُ أَخُوهُ يَرْحَمُكَ الله, فَإِذَا قَالَ لَهُ يَرْحَمُكَ الله, فَلْيَقُلْ يَهْدِيكُمُ الله, وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ ) أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ
Jika salah seorang dari kalian bersin maka hendaknya dia mengatakan "Alhamdulillaah". Dan saudaranya yang mendengarnya mengucapkan "Yarhamukallaah". Jika saudaranya mengucapkan yarhamukallaah maka yang bersin tadi menjawab lagi dengan mengatakan "Yahdikumullaah wa yushlihu baa lakum" (semoga Allah memberi petunjuk kepada kalian dan semoga Allah meluruskan/memperbaiki urusanmu (HR. Imam Al-Bukhari).
Hadits ini berkaitan tentang adab bersin dan adab orang yang mendengar bersin. Pertama berkaitan dengan orang yang bersin. Orang yang bersin, dia telah mendapatkan nikmat dari Allah سبحانه وتعالى. Sehingga tatkala dia bersin keluar kotoran dari tubuhnya dan dia merasa lebih ringan daripada dia bersin tersebut terpendam dalam dirinya. Maka hendaknya dia mengucapkan "Alhamdulillaah".
 
Dan sebagian orang menyatakan bahwasanya bersin menunjukkan sehatnya seseorang. Dia tidak berbicara tentang orang yang bersin melulu, menunjukkan dia sakit, tidak. Tapi kita berbicara tentang yang bersin terkadang yang dialami oleh seseorang, ini adalah nikmat yang menunjukkan tubuhnya sehat sehingga keluar dari tubuhnya hawa tersebut sehingga dia mengucapkan "Alhamdulillaah".
 
Dan ini peringatan bagi kita, kalau bersin, sekedar bersin kita dianjurkan untuk mengucapkan "Alhamdulillaah", memuji Allah atas nikmat tersebut. Bagaimana lagi dengan nikmat-nikmat yang lain? Oleh karenanya hendaknya sering kita memuji Allah tatkala kita berdzikir alhamdulillaah setelah shalat, benar-benar kita renungkan makna alhamdulillaah. Bahwasanya terlalu banyak nikmat yang Allah berikan kepada kita, yang terkadang kita lupa untuk bersyukur kepada Allah سبحانه وتعالى, lupa untuk memuji Allah سبحانه وتعالى yang memudahkan nikmat tersebut kepada kita.
 
Kemudian tatkala dia bersin, hendaknya dia memperhatikan adab. Sebagaimana Nabi صلّى اللّه عليه وسلّم tatkala dia Rasulullah bersin, wadho'a yadahu fi fihi. Rasulullah kalau bersin beliau meletakkan tangan beliau di mulutnya atau meletakkan bajunya sehingga tidak tersebar kemana-mana. Kemudian beliau melemahkan suara beliau tatkala bersin.
 
Oleh karena seseorang tatkala bersin jangan dia menggelegar dengan sekeras-kerasnya, kemudian lehernya atau kepalanya dipalingkan ke kanan dan ke kiri sehingga tersebarlah virus-virusnya, tidak.
 
Tapi dia berusaha mengecilkan suaranya dan berusaha menutup mulutnya. Ini adab dalam bersin sehingga dia tidak mengganggu orang lain. Karena ada orang yang tatkala bersin menggelegar, sengaja, ada orang yang tidak sengaja, tidak mampu menahan suaranya. Ini mendapat udzur. Tapi ada yang sengaja untuk melepaskan suaranya, ini tidak diperbolehkan.
 
Kemudian adab orang yang mendengar tatkala mendengar seorang bersin maka dia menjawab "Yarhamukallaah" (semoga Allah memberi rahmat kepada engkau). Engkau telah mendapatkan nikmat maka semoga Allah menambah rahmat kepada engkau.
 
Para ulama berbicara tentang bagaimana kalau ada orang yang tidak mengucapkan alhamdulillaah. Kita tidak mengucapkan yarhamukallaah kepada dia. Dalam hadits disebutkan:
 
عَطَسَ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَشَمَّتَ أَحَدَهُمَا وَلَمْ يُشَمِّتْ الْآخَرَ ، فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ :(هَذَا حَمِدَ الله ، وَهَذَا لَمْ يَحْمَدْ الله)
Ada 2 orang yang bersin disisi Nabi maka Nabi mengucapkan "Yarhamukallaah" kepada satunya dan satunya Nabi tidak mengucapkan yarhamukallaah. Maka orang yang tidak diucapkan yarhamukallaah protes, ya Rasulullah:
سَمَّتْ هَذَا ، وَلَمْ تُشَمِّتْنِي
Engkau mengucap yarhamukallaah kepada si fulan adapun kepada aku tidak, maka Nabi mengatakan:
إِنَّ هَذَا حَمِدَ اللَّهَ, وَ لَمْ تَحْمَدِ اللّهَ
Si fulan tadi tatkala bersin mengucapkan alhamdulillaah, adapun engkau tidak mengucapkan alhamdulillaah.
Oleh karenanya, orang yang bersin tidak mengucapkan alhamdulillaah, maka kita tidak menjawab yarhamukallaah.
 
Diriwayatkan dari Ibnul Mubarok رحمه اللّه, tatkala ada seseorang bersin di hadapan Ibnul Mubarok dan dia tidak mengucapkan alhamdulillaah maka Ibnul Mubarok bertanya pada dia,
Apa yang diucapkan oleh orang yang bersin?
Orang ini pun mengatakan,
Alhamdulillaah
maka Ibnu Mubarok kemudian mengucapkan,
Yarhamukallaah
Seakan-akan mengingatkan kepada orang tersebut, terkadang seseorang lupa mengucapkan alhamdulillaah atau karena saking sibuknya lupa untuk mengucapkan alhamdulillaah maka boleh kita mengingatkan dia agar kita mengucapkan yarhamukallaah kepada dia.
 
Kemudian apa hukum mengucapkan yarhamukallaah? Ada khilaf di antara para ulama.
  • Ada yang mengatakan fardhu 'ain (setiap orang yang mendengar harus mengucapkan yarhamukallaah)
  • Ada yang mengatakan fardhu kifayah (cukup sebagian orang yang mengucapkan yarhamukallaah)
  • Ada yang mengatakan sunnah secara mutlak.
Tapi kita berusaha menghidupkan sunnah ini, apa hukumnya sunnah, apakah fardhu kifayah atau fardhu 'ain, kita berusaha mengucapkan yarhamukallaah kepada saudara kita yang bersin. Kemudian setelah kita mengucapkan "yarhamukallaah" maka orang yang bersin tadi mengucapkan "yahdikumullaah wa yushlihu baa lakum", balik mendo'akan orang yang telah mendo'akannya dengan berdo'a semoga Allah memberi hidayah kepadamu dan semoga Allah meluruskan urusanmu.
 
Sungguh indah adab yang diajarkan oleh Nabi صلّى اللّه عليه وسلّم, saling mendo'akan di antara sesama muslim, menghilangkan rasa hasad, menghilangkan rasa dengki.
 
Bayangkan jika seorang saling mendo'akan di antara mereka, dan ini mempererat tali ukhuwah di antara kaum muslimin. Sangat dituntut untuk mempererat tali ukhuwah (tali persaudaraan) di antara kaum muslimin. Dan sangat dituntut untuk menghilangkan segala sebab-sebab yang bisa menumbuhkan perpecahan, perselisihan, buruk sangka dan yang lain-lainnya.
 
Terakhir sebelum kita tutup majlis kita yaitu pembahasan tentang bagaimana orang yang sakit yang bersin berulang-ulang? Maka yang wajib bagi kita adalah untuk mengucapkan yarhamukallaah sekali saja. Ada yang mengatakan sampai 3 kali disunnahkan, lebih dari itu tidak perlu.
 
Disebutkan dalam hadits Salamah ibnil Akwa رضي اللّه عنه, bahwasanya dia mendengar Nabi صلّى اللّه عليه وسلّم dan ada seorang yang bersin di sisi Nabi صلّى اللّه عليه وسلّم, maka Nabi mengatakan "Yarhamukallaah". ثُمَّ عَطَشَ أُخْرَ (kemudian orang ini bersin lagi), kemudian Rasulullah صلّى اللّه عليه وسلّم mengatakan اَلرَّجُلُ مَزْكُوْمٌ si fulan ini sedang sakit flu.
 
Oleh karenanya ini isyarat dari Nabi صلّى اللّه عليه وسلّم kalau ternyata orang ini bersinnya tidak wajar. Namun karena sakit maka kita rubah do'a, do'anya bukan lagi "yarhamukallaah" tapi kita mendo'akan "syafakallaah" (semoga Allah menyembuhkanmu) atau do'a-do'a yang berkaitan dengan orang yang sakit.
 
Demikian, wabillaahittaufiq walhidayah.
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :


Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Transkrip oleh Tim Materi Bimbingan Islam

BIAS 12 : Adab-Adab Memberi Salam 3


السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Ikhwan dan akhawat sekalian yang dirahmati اللّه سبحانه وتعالى, kita masuk pada halaqoh yang ke-12, masih berkaitan dengan adab salam. Dari 'Ali رضي اللّه عنه, beliau berkata:
 
قال رسول الله صلّى اللّه عليه وسلّم "لَا تَبْدَؤُوا اَلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى بِالسَّلَامِ, وَإِذَا لَقَيْتُمُوهُمْ فِي طَرِيقٍ, فَاضْطَرُّوهُمْ إِلَى أَضْيَقِهِ"
Rasulullah صلّى اللّه عليه وسلّم bersabda: Janganlah kalian mulai memberi salam kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashrani. Dan jika kalian bertemu dengan mereka dijalan maka buatlah mereka tergeser ke jalan yang sempit. (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim).
Ikhwan dan akhwat yang dirahmati olehاللّه سبحانه وتعالى, hadits ini dipermasalahkan oleh sebagian orang yang menjelaskan Islam kok demikian, kok mengajarkan sikap keras kepada orang-orang kafir?
 
Sebenarnya hadits ini tidak menjadi masalah karena kita menempatkan dalil-dalil sesuai dengan kondisinya. Ada dalil-dalil yang menunjukkan bagaimana rahmatnya Islam. Dan terlalu banyak dalil yang menunjukkan bagaimana sikap Rasulullah صلّى اللّه عليه وسلّم terhadap orang-orang kafir dengan muamalah thayyibah, dengan sikap yang baik dalam rangka untuk mengambil hati mereka.
 
Bahkan terhadap orang yang sangat membenci Nabi صلّى اللّه عليه وسلّم, Abdullah bin 'Ubay bin Salul. Tatkala meninggal dia tidak punya kain kafan. Maka Rasulullah صلّى اللّه عليه وسلّم memberikan baju yang beliau pakai untuk dijadikan kain kafan bagi Abdullah bin 'Ubay bin Salul. Padahal dia adalah gembongnya orang munafiq yang sering menyakiti Nabi صلّى اللّه عليه وسلّم dan juga keluarga Nabi صلّى اللّه عليه وسلم. Yang telah memimpin untuk menuduh 'Aisyah telah melakukan berzina. Akan tetapi Rasulullah صلّى اللّه عليه وسلّم bermuamalah dengan baik dengan dia.
 
Demikian juga Nabi صلّى اللّه عليه وسلّم bermuamalah baik dengan orang kafir seperti orang Yahudi yang pernah menjadi pembantu Nabi صلّى اللّه عليه وسلّم, maka tatkala sakit, Nabi صلّى اللّه عليه وسلّم menjenguknya. Dan Nabi صلّى اللّه عليه وسلّم mendakwahinya dan terlalu banyak dalil bagaimana sikap lemah lembut dari kaum muslimin terhadap orang-orang kafir.
 
Ini bab tentang muamalah maka seseorang berusaha untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir dalam rangka untuk mengambil hati mereka. Tetapi dalam kondisi-kondisi lain, dimana tatkala kondisi menunjukkan Islam harus lebih tinggi, contohnya tatkala melewati suatu jalan maka seorang muslim ketika berjalan ditengah jalan, kemudian ada orang kafir lewat maka jangan kemudian dia minggir kemudian mempersilakan orang kafir, ini menunjukkan kehinaannya dia, tidak. Kita tetap berjalan karena dia berhak untuk jalan ditengah. Dia seorang muslim, maka dia jangan mengalah.
 
Ini cara seorang muslim memiliki 'izzah, memiliki kemuliaan, bukan malah lemah loyo dihadapan semua orang. Dan ini kadang terjadi, misalnya dalam suatu perkumpulan orang muslim malu berbicara, orang kafir terus yang berbicara. Orang muslim tidak enak-tidak enak, orang kafir yang menguasai majlis. Ini tidak benar. Ini saatnya menunjukkan Islam harus memiliki 'izzah, memiliki kemuliaan dihadapan orang-orang kafir.
 
Oleh karenanya bab tentang muamalah hasanah bab tersendiri, adapun bab tatkala seseorang harus menunjukkan keutamaan Islam maka dia harus tunjukkan.
 
Ada beberapa point yang berkaitan dengan hadits ini :
 
Yang pertama, seorang muslim tidak boleh mendahulukan mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nashrani. Kenapa? Karena salam itu menunjukkan kemuliaan dan ada do'a, dan yang penting ada do'a. Kalau kita mengucapkan Assalaamu'alaykum berarti kita mendoakan keselamatan bagi dia, dia tidak berhak untuk mendapatkan keselamatan. Dia kafir kepadaاللّه سبحانه وتعالى, dia kafir terhadap Nabi صلّى اللّه عليه وسلّم, dia berbuat kesyirikan, bagaimana kita mengatakan keselamatan bagi kalian. Maka tidak kita berhak, tidak boleh bahkan (bukan cuma tidak berhak), tidak boleh untuk mengucapkan salam dahulu kepada mereka.
 
Akan tetapi kalau mereka yang dahulu memberi salam, maka kita menjawab. Kalau mereka mengucapkan "Assalaamu'alaykum". Kita jawab "Wa'alaykum", demikian juga bagi kalian.
 
Namun para ulama menyebutkan, jika kondisinya ternyata sulit, masa kita bertemu dengan orang-orang kafir kita tidak memberi salam sama sekali. Nanti menunjukkan prasangka buruk kepada kaum muslimin. Maka para ulama (banyak ulama yang membolehkan). Tatkala Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, seperti ulama sekarang Syaikh Albani رحمه اللّه. Jika kita bertemu dengan orang-orang kafir, misalnya mungkin bos kita, mungkin teman kerja kita, rekan kerja kita. Maka kita tidak mengucapkan. "Assalaamu'alaykum", kita menggunakan kata-kata salam yang lain, seperti kita mengatakan selamat pagi, bagaimana kondisimu?, good morning, seperti itu tidak jadi masalah, yang penting tidak ada do'a (Assalaamu'alaykum itu do'a) yang tidak pantas untuk diberikan kepada orang-orang yang musyrik dan kafir kepada اللّه juga kafir kepada Rasulullah صلّى اللّه عليه وسلّم.
 
Demikian para ikhwan dan akhwat yang dirahmatiاللّه سبحانه وتعالى. Apa yang bisa kita sampaikan pada halaqoh ke-12, akan lanjutkan pada halaqoh berikutnya.
 
Wabillahit taufiq.
 
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :


Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Transkrip oleh Tim Materi Bimbingan Islam

BIAS 11 : Adab-Adab Memberi Salam 2

Alhamdulillaah washshalaatu wassalaamu 'alaa Rasuulillah. Ikhwan dan akhwat, Assalaamu'alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh.
 
Kita masuk pada halaqoh yang ke-11 dari Baabul Adab. Hadits dari 'Ali bin Abi Thalib رضي اللّه عنه, beliau berkata:
 
ٍقال رسول الله صلّى اللّه عليه وسلّم : "يُجْزِئُ عَنْ اَلْجَمَاعَةِ إِذَا مَرُّوا أَنْ يُسَلِّمَ أَحَدُهُمْ, وَيُجْزِئُ عَنْ اَلْجَمَاعَةِ أَنْ يَرُدَّ أَحَدُهُمْ ".
Cukuplah jika ada sekelompok orang atau sebuah jama'ah jika melewati jama'ah yang lain, maka cukup salah seorang dari jama'ah yang lewat tersebut satu orang memberi salam sudah cukup. Dan sebaliknya, demikian juga jama'ah yang disalami maka cukup satu orang bagi mereka untuk membalas salam tersebut (Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan AlBaihaqi).
Para ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allah سبحانه وتعالى, hadits ini sanadnya lemah karena dalam sanadnya ada seorang rawi yang bernama Sa'id bin Khalid Al-Khuza'i AlMadani. Dan dia adalah perawi yang dha'if.
Al-Imam Al-Bukhari menyatakan fiihi nazhar. Demikian juga Abu Hatim dan Abu Zur'ah mengatakan dha'iiful hadits (haditsnya lemah). Kemudian juga Daruquthni mengatakan laysa bilqowiy (orangnya tidaklah kuat). Oleh karenanya, secara sanadnya hadits ini adalah lemah. Akan tetapi Syaikh Albani رحمه اللّه menyebutkan syawahid yang menguatkan hadits ini (yang dimaksud dengan syawahid adalah hadits-hadits yang maknanya sama tetapi diriwayatkan dari shahabat-shahabat yang lain). Dan syawahid tersebut seluruhnya sanadnya juga lemah.
 
Oleh karenanya Syaikh Albani mengatakan:
 
لعل الحديث بهذه الطروق يتوقف فيسير حسنا
Mungkin dengan banyaknya jalan-jalan yang lain daripada hadits ini maka hadits ini naik derajatnya menjadi hadits yang hasan.
Oleh karenanya hadits ini juga dihasankan oleh Syaikh Al-bassam dalam kitabnya Tauhidul Ahkam. Intinya, hadits ini wallaahu a'lam, ada yang mendha'ifkan, ada yang menghasankan.
Hadits ini menjelaskan bahwasanya diantara adab yang berkaitan dengan memberi salam, jika ada sekelompok jama'ah yang melewati jama'ah yang lain maka cukup yang memberi salam satu karena hukumnya adalah fardhu kifayah.
 
اذا قام به البعض سقط عن الباقين
Kalau seorang sudah melakukannya, maka yang lain tidak perlu lagi wajib untuk mengucapkan salam.
Demikian juga dalam hal menjawab salam, jika ada seorang datang kemudian memberi salam kepada jama'ah: "Assalaamu'alaykum!". Maka jama'ah tersebut tidak wajib seluruhnya untuk menjawab, tetapi satupun sudah cukup. Akan tetapi kata para ulama mengatakan seandainya mereka menjawab seluruhnya maka ini lebih baik, lebih afdhal.
Demikian juga seandainya mereka jama'ah ini seluruhnya memberi salam dengan suara ramai-ramai "Assalaamu'alaykum!". Maka ini juga lebih afdhal. Karena hadits أَفْشُوا السَّلامَ, Rasulullah صلّى اللّه عليه وسلّم mengatakan: Tebarkanlah salam.
 
Hadits ini umum, yang oleh karenanya siapa saja berhak untuk memberikan salam. Oleh karena nya jika jama'ah ramai-ramai memberi salam atau jama'ah ramai-ramai menjawab salam maka ini lebih afdhal, akan tetapi tidak wajib. Yang wajib cukup 1 yang memberi salam dan wajib 1 menjawab.
 
Ini diantara adab salam yang diajarkan oleh Nabi صلّى اللّه عليه وسلّم dalam hadits ini. Kemudian ada adab yang lain yang mungkin kita perlu sampaikan juga.
 
Dalam Alqur'an Allah سبحانه وتعالى berfirman:
 
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
Jika kalian diberi salam dengan suatu salam maka jawablah dengan salam yang lebih baik atau yang semisalnya (AnNisaa 86)
Ini penting ya ikhwan dan akhawat, kalau kita bertemu dengan seorang saudara kita kemudian dia memberi salam: "Assalaamu'alaykum warahmatullaah wabarakaatuh ", maka hendaknya kita menjawab dengan jawaban yang sempurna, kita mengatakan "Wa'alaykumussalam warahmatullaahi wabarakaatuh".
 
Kalau dia mengatakan "Assalaamu'alaykum " kita bisa -minimal-(red) jawab "Assalaamu'alaykum" -"Wa'alaykumussalam"-(red) atau kita tambah kita mengatakan "Assalaamu'alaykum warahmatullah" -"Wa'alaykumussalam warahmatullaahi"-(red). Jadi kita berusaha menjawab salam sebagaimana yang dia sampaikan atau lebih baik daripada apa yang dia sampaikan.
 
Demikian juga dalam secara lafal, demikian juga dalam hal misalnya saudara kita datang memberi salam kepada kita dengan wajah tersenyum, dengan memandang kita maka kita berusaha memandangnya dan kita juga berusaha senyum dengan dia karena sebagian orang mungkin karena ada keangkuhan dalam dirinya jika ada yang memberi salam kepada dia maka dia jawab dengan tanpa senyum. Atau dia menjawab tanpa melihat orang yang memberi salam kepada dia. Ini adalah keangkuhan, yaa ikhwan. Allah mengatakan:
 
فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
Jawablah dengan lebih baik atau yang sama.
Kalau dia senyum, kita senyum. Kalau dia senyumnya berseri, kita berseri-seri. Harusnya demikian, ini adab yang diajarkan oleh Islam.
Oleh karenanya, seorang berusaha menebarkan salam, menjalankan sunnah Nabi صلّى اللّه عليه وسلّم. Dalam hadits Rasulullah صلّى اللّه عليه وسلّم menyatakan:
 
لا تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا، وَلا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَلا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلامَ بَيْنَكُمْ
Kalian tidak akan masuk surga sampai beriman, dan kalian tidak akan beriman kecuali sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang suatu amalan yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai? Maka tebarkanlah salam diantara kalian.
Maka jangan malas kita untuk memberi salam. Ketemu saudara kita, kita beri salam, kita kirim salam kepada saudara kita. Betapa keindahan yang masuk ke dalam hati seseorang tatkala dikatakan si fulan memberikan salam kepada engkau, kemudian kita mengatakan kirim salam balik kepada dia. Ini semua dalam meningkatkan ukhuwah, maka jangan angkuh untuk memberi salam dan jangan angkuh juga untuk menjawab salam.
 
Wabillaahit taufiq, assalaamu'alaykum warahmatullaah wabarakaatuh.
Anda dapat mendownload audio kajian di atas dengan mengklik link di bawah ini :


Rohmad Adi Siaman


Sumber :
  • Whats App Grup BIAS Group N01-57
  • Transkrip oleh Tim Materi Bimbingan Islam